Selfie di Masjid Bareng Aliando Rp10.000

Selfie di Masjid Bareng Aliando Rp10.000

Jumat, November 27, 2015 Add Comment

SELAIN untuk beribadah, masjid yang berada di pinggir jalan raya sering kali menjadi tempat beristirahat para pelaju. Pelaju bisa solat safar, cuci muka belaka, atau selonjoran kaki untuk menghilangkan kantuk sebelum melanjutkan perjalanan.

Namun, masjid di Jalan By Pass Tanjung Pura Karawang ini lain dari yang lain. Lebih istimewa dari masjid kebanyakan. Lho, apa yang membedakan?

Itu karena masjid ini didirikan oleh Aliando Syarif. Siapa yang ngga kenal Aliando coba? Aktor tampan yang sedang naik daun karena perannya di sinetron 'Ganteng-ganteng Srigala'.

Orang pun mengenal masjid ini sebagai Masjid Aliando. Sampai-sampai saya saja lupa apa nama masjid ini saat menulis ini, sebelum saya mencari di Google. Nama masjid ini sebetulnya An-Nur, ya tapi gitu deh.. orang sudah kadung kenalnya Masjid Aliando.

Mampir ke masjid ini, di sebuah sore, saya dan istri hendak salat Ashar. Kami agak sedikit tercengang, di dekat bedug terdapat foto Aliando. Terdapat peringatan, yang mau foto sama bedug dan foto bintang sinetron GGS itu, wajib infak Rp10.000. Inget loh, infaknya buat kemakmuran masjid, bukan buat Aliando.
 
Saya yakin pengurus masjid ini, bukan bermaksud mengkomersilkan wajah tampan Aliando untuk sekedar infak Rp10.000. Maksud mereka baik, memfasilitasi orang yang ingin salat berjamaah dengan Aliando. Bang Aliando ini emang cowok paling imamable buat cewek-cewek jomblo yang lagi searching imam.

Tapi ya itu dia, kalo belum bisa salat berjamaah, ya minimal selfie berjamaah dulu.. hehehe.

Entah kenapa, saat salat di masjid ini, saya susah banget khusu. Mungkin karena terbayang wajah Aliando terus menerus. :)

Cerita Horor Mendaki Gunung Gede

Selasa, November 10, 2015 Add Comment
Paling enak kalo naik ke Gunung Gede, ngasoh dulu di Telaga Biru.

GEDE Sesuai namanya, Gunung Gede itu gede banget. Jalurnya cukup menantang buat didaki sampai ke puncak. Ceritanya, kami berdua bersama delapan guru dan pegawai SD Muhammadiyah 09 pergi berkemah dan mendaki Gede akhir pekan lalu.

Hasilnya, sampai status ini ditulis badan saya rasanya remuk. Betis rasanya benjol, paha kejang, dan punggung kaku. Turun tangga di rumah aja sulittt... >_< Jalur pendakian Gede sebetulnya cenderung ramah, hanya saja jaraknya lumayan jauh. Sekitar 10km dari kaki gunung di Cibodas hingga ke puncak.

Atau 8 jam berjalan menanjak tanpa henti. Jika cuaca cerah bersahabat, mendaki Gede mungkin rasanya ceria. Tapi kemudian hujan merubah semuanya. Kami tak siap dengan kondisi hujan. Jadinya yang tadinya kami mendaki sambil berhaha-hihi, mulai cemberut dan kedinginan karena baju basah.




Apalagi saat turun gunung, hujan terus mengguyur. Tas carrier 80 litter beserta isinya basah semua tentu makin berat. Ditambah tenaga yang sudah terkuras selama dua hari, makin membuat kami lemas. Hikmah yang saya dapat dari mendaki Gede adalah jangan meremehkan sesuatu meski katanya sepele atau gampang. Persiapan itu penting, segala sesuatunya harus kita persiapkan secara matang. #1ygterpenting #hidupituperlupersiapan

Kelahiran Kucing Kami yang Tak Terduga

Sabtu, Oktober 24, 2015 Add Comment


Awalnya kami mengadopsi Michelle secara tidak sengaja. Dia adalah seekor kucing liar (stray cat) yang biasa mampir ke rumah buat mengais sisa makanan di dapur. Karena saat itu di dapur kawanan tikus sedang merajalela, jadi kami biarkan saja Michelle.

Selanjutnya kami mulai memberi Michelle makan seadanya. Sisa ikan dan nasi yang kami makan. Tak disangka, Michelle begitu penurut. Dia mulai terikat kepada kami berdua, terutama saya. Ke mana pun saya pergi di dalam rumah selalu diikuti. Ke atas ikut, ke bawah ikut. Saya salat dia nunggu di samping sajadah, dan ke kamar mandi juga maunya ikut. Hehehe..

Kalo tidak dilarang, maunya tidur pun dia bareng kami. Untungnya, setelah dilatih, dia paham bahwa dia dilarang masuk kamar bapak-ibunya. Jadinya kalo tidur, cuma di keset depan kamar. Ternyata oh ternyata, sebulan dia tinggal di rumah kami, Michelle mulai memperlihatkan perubahan fisik.

Perutnya terlihat buncit. Awalnya saya hanya menduga dia buncit karena kebanyakan makan nasi. Tapi setelah diperiksa melalui USG sederhana dengan penerawangan, ternyata Michelle memang hamil. Ngga tahu deh siapa pelakunya, mungkin perlu tes DNA. Hehehe...

Jadinya niatan mau disteril pun batal. Dan pada Kamis (22/10) pagi, saya melihat tanda-tanda Michelle kontraksi. Nafas dia ngos-ngosan. Detak jantungnya cepat banget. Tapi saat itu ketubannya masih utuh. Saya lihat dia juga udah mulai nyari tempat sembunyi. Dia coba-coba masuk ke lemari pakaian.

Untungnya, di rumah ada sebuah lemari pakaian kosong. Saya tempatkan sebuah kardus besar di dalam lemari itu bersama potongan kain bekas sprei. Saya kemudian gendong Michelle ke dalam kardus itu.

Alhamdulillah, Jumat kemarin, bertepatan dengan Hari Asyura, Michelle sudah melahirkan dengan selamat sentosa. Dia melahirkan tanpa merepotkan, tanpa suara, dan tanpa bantuan siapapun. Sebelum salat jumat saya kaget banget! saya lihat perut Michelle sudah langsing lagi.

Padahal Kamis sore saya potret dia, perutnya masih buncit. Saya terus cek kardus, ternyata sudah ada tiga kitten mungil yang lucu (dua cewek, satu cowok). Ketiga baby itu masih mungil banget, belum bisa melek. Saya cek satu-satu.

Alhamdulillah semuanya sehat. Tali pusarnya juga sudah kering. Saking bersihnya, di kardus tempat Michelle lahiran, saya tidak menemukan ari-ari ketiga kitten itu. Sepertinya Michelle sengaja memakan ari-ari bayinya sendiri. Hiii,, ngeri,, dasar Michelle..!

Semoga kelahiran tiga baby kitten ini jadi pertanda baik buat kami. Yang awalnya kami hanya bermaksud mengadopsi satu kucing, ternyata malah dapat sekeluarga.

Setelah Michelle berhasil melenyapkan kawanan tikus, dia juga banyak memberi hiburan kepada kami, karena dia memang kucing yang penurut dan pintar jika dilatih. Mungkin itu yang disebut rejeki nomplok.

Iyya, terkadang mungkin kita hanya berharap beberapa, tapi Allah malah memberi kita banyak. Istilah dalam Alquran, min haitsu layahtasib.

Tak Perlu Jauh, ke Jonggol Saja

Jumat, Oktober 16, 2015 Add Comment


"Waahh, asyik banget jalan-jalan mulu nih..." kata seorang teman. Bukannya kita banyak duit loh, bisa jalan-jalan mulu. Tapi kalo otak udah mumet, solusi paling cespleng ya rekreasi. Makanya rekreasi itu wajib banget. Kebetulan ada yang mumet karena akreditasi sekolah ngga kelar-kelar, jadinya kita cuss aja ke Jonggol.

Ngga perlu tempat yang jauh, rekreasi itu bisa juga kok di sekitaran Jabotabek. Dan ternyata, di Jonggol itu ada banyak obyek wisata indah. Salah duanya, Curug Ciherang dan Curug Cipamingkis.

Yang menarik menurut saya sih perjalanan ke dua obyek wisata itu. Di sepanjang jalan, kita disuguhi pemandangan yang subhanallah banget. Kontur perbukitan dan pesawahan di Jonggol itu indahnya bisa diadu sama yang di Ubud, Bali. :)

Sampe di Curug, kita cuma mandangin curugnya, buka timbel makanan, sama main air. Udah gitu aja, terus balik lagi dengan kepala yang seger buat hadapi kenyataan lagi. Hehehe..

Demikianlah, rekreasi itu ngga harus mahal. Tapi selalu harus kita masukin di bujet pengeluaran. Gimana pun rekreasi itu menambah produktivitas kita. Karena kalo kepala mumet, pasti produktivitas pun menurun.

"Surga" Roti dan Kopi di Bekasi

Kamis, Oktober 01, 2015 Add Comment
Kopi, roti, dan buku... sempurna, kayak di surga.
Beberapa waktu lalu Bekasi sempat menjadi kota yang sangat terkenal di Indonesia. Hampir semua orang membincangkan kota yang terletak di timur Jakarta itu.

Kesan Bekasi sebagai kota yang jauh dari peradaban yang pernah viral di media sosial, kini mulai dilupakan. Pembangunan infrastruktur, pembangunan pusat perbelanjaan, dan properti yang massif membuat kota ini menjelma surga kuliner baru.

Di sepanjang aliran Kalimalang, hingga Bekasi barisan café, bar, warung kaki lima, hingga berbagai restoran menjadi magnetnya.

Salah satu penganan yang menjadi favorit warga Bekasi adalah roti dan kopi. Penduduk Bekasi pun telah dimanjakan dengan kehadiran banyaknya kedai kopi dan toko roti waralaba di mall. Menjamurnya toko roti dan kedai kopi waralaba dengan citarasa seragam, tentu menjadi agak sulit menemukan yang otentik.

Namun, dengan sedikit referensi yang baik mengenai Bekasi, kita bisa saja menemukan roti dan kopi otentik itu di Gudang Rottie.

Kedai roti yang terletak di Jatibening ini, tak hanya menyediakan semua jenis penganan berbahan roti. Kedai ini juga menyediakan kopi kualitas premium hasil racikan barista Gudang Rottie.

Teman saya, Andhyka Darwin, pemilik sekaligus chef Gudang Rottie mengungkapkan bahwa konsep kedainya adalah ingin membuat warga Bekasi betah di daerahnya sendiri.

“Saat ini warga bekasi kalau mau ngopi dan makan roti yang enak selalu harus ke Jakarta. Karena itu, kami menyediakan semua jenis roti dan kopi yang enak agar warga Bekasi tak perlu jauh-jauh,” ujar Andhyka.

Yang paling menarik saat mengunjungi Gudang Rottie adalah waktu  pagi. Saat itu, asap pembakaran dapur Gudang Rottie tengah mengepul.

"Biasanya freshly baked turun sekitar jam 9 dan jam 11 pagi. Kalau dateng pagi, mungkin akan ketemu dengan roti-roti fresh out of the oven, siap disantap untuk take away atau dinikmati di Gudang Rottie dengan premium hot cappuccino kita," ujar Dhyka sedikit berpromosi.

Salah satu yang selalu dicari pelanggan di kedai ini adalah roti tawar. Pasalnya roti tawar buatan Gudang Rottie tidak menggunakan gula sebagai pemanis. Gantinya, untuk memberikan sedikit rasa, Gudang Rottie menggunakan madu.

"Dengan madu, tentu menjadi lebih sehat dan lebih bergizi. Selain itu, sebagai pelengkap roti tawar, kami juga membuat selai sendiri dengan buah-buahan asli," katanya.

Mengenai kopi yang disajikan di Gudang Rottie, kita bisa mendapatkan cairan hitam istimewa itu di sini. Pasalnya Gudang Rottie sendiri memiliki keterkaitan yang erat dengan Sanga Coffe, sebuah cafe yang terkenal menyajikan kopi premium di Galaxy Bekasi.

"Kopi kita berasal dari Malabar, Jawa Barat. Kita meraciknya dengan istimewa. Kopi kami racik agar menjadi teman yang pas saat makan roti," pungkas Andhyka.

Duet Paling Mantap! Kopi dan Serabi

Sabtu, Agustus 22, 2015 Add Comment


Hari saya rasanya menjadi penuh arti dengan kopi dan serabi. Dua penganan itu sungguh luar biasa menjadi pengganjal perut dan penambah energi.

Kopi dan serabi yang saya tandaskan pagi tadi, bisa dibilang juga simbol keberagaman. Kopi yang saya seduh tanpa gula itu berasal dari pegunungan Toraja, nun jauh di Sulawesi. Bertemu dengan serabi racikan seorang ibu asal Majalengka yang khas.

Sepanjang saya menyukai serabi, hanya serabi beras yang menurut saya paling enak. Serabi duren, keju, atau cokeat yang sekarang ngetren, seperti tak berarti dibanding yang original. Apa yang Anda ingat jika makan serabi?

Saya sih ingat dorayaki, makanan kesukaan Doraemon. Kalo Anda ingat hal lain, berarti imajinasi Anda terlalu tinggi. :)

Santri NU Ikut Muktamar Muhammadiyah

Jumat, Juli 31, 2015 Add Comment
DUA PULUH tahun lalu, saya menyaksikan pondok tempat saya menimba ilmu di Cipasung, Tasikmalaya menjadi tuan rumah Muktamar Nahdlatul Ulama.

Saat itu saya masih bocah yang tak tahu makhluk sejenis apa itu Muktamar. Namun kemudian dari buku yang saya baca, saya kemudian tahu di Cipasung itulah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih jadi Ketua Umum PBNU.

Itu adalah tonggak sejarah bagi NU dan bangsa ini. Gus Dur yang kemudian menjadi Presiden itu dikenang sebagai pemimpin pembela kalangan minoritas. Meski mondok di pesantren NU, perjalanan hidup memang membuat saya mengabdi untuk Muhammadiyah.

Dan kini saya akan menyaksikan Muktamar Muhammadiyah yang digelar di Makassar, biar cuma sebagai penggembira. Hehehe...

Sebagai penggembira, saya pun sangat senang kedua organisasi ini kini menggelar Muktamar dengan waktu yang hampir bersamaan. Tentu saja itu seperti bonus besar, setelah Ramadan lalu dan Idul Fitri di awal bulan ini diperingati berbarengan.

Tema Muktamar kedua organisasi juga hampir mirip. "Islam Nusantara" diusung NU, sementara Muhammadiyah mengangkat "Islam Berkemajuan". Bayangkan jika dua tema itu disatukan akan jadi "Islam Nusantara yang Berkemajuan".

Sungguh luar biasa!! Seperti kata Nurcholish Madjid atau Cak Nur, Muhammadiyah dan NU memang seperti dua sayap garuda. Jika keduanya sudah mengepak seirama, bangsa Indonesia pasti akan terbang tinggal landas. Sebagai orang yang pernah belajar di HMI, saya tentu seratus persen setuju dengan kata Cak Nur. :)

Perubahan Purwakarta, Mau ke Mana?

Rabu, Mei 20, 2015 Add Comment


BANYAK yang berubah di Purwakarta. Perubahan itu semuanya sangat mencolok. Dan yang paling mencolok adalah festival setiap malam Minggu.

Di Situ Buleud, yang tak jauh dari Kantor Bupati Purwakarta, pusat kemeriahan festival malam minggu itu. Di sana ada air mancur warna-warni menari. Suasana taman sekitar situ yang gelap membuat pancuran itu terlihat sangat indah dan menawan. Sayang saya tak bisa memotretnya karena saat ke sana akhir pekan lalu, batere HP saya sudah habis.

Yang saya baca di buku sejarah saat sekolah, Situ Buleud adalah situ berbentuk lingkaran yang dibangun oleh Bupati Karawang, saat Kota Purwakarta masih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang di era kolonial Hindia Belanda. Karena itu selain bangunan kantor bupati, di sekitar situ banyak sekali bangunan tua legendaris seperti Stasiun Purwakarta, Masjid Agung, dan penjara.

Rasanya ingin sekali mengunjungi bangunan-bangunan legendaris itu sambil mengenang masa sekolah. Karena meski saya bersekolah di Cikampek, untuk banyak aktivitas seperti bimbel, kursus, dan bahkan bolos sekolah saya sering ke Purwakarta. Tapi Purwakarta di malam Minggu akhir pekan lalu, sungguh berbeda.



Selain festival budaya yang rutin digelar, ada juga festival wisata kuliner. Kendaraan sulit bergerak. Saya dan istri yang menunggangi motor pun harus banyak mencari celah melalui jalan tikus.

Perubahan Purwakarta yang luar biasa dalam beberapa tahun belakangan adalah buah karya sang bupati, Dedi Mulyadi. Saya harus memuji kinerja bupati muda ini. Terlebih di bidang kebudayaan. Dia sepertinya ingin merestorasi kebudayaan Sunda, sehingga ke mana-mana pun selalu setia dengan ciri khas kain iket, baju kampret putih, dan celana pangsi.

Selain itu, Dedi juga memugar semua gapura di perkantoran pemerintahan menjadi gapura khas Purwakarta. (Untuk soal itu, menurut saya, dia seperti terobsesi menjadikan Purwakarta seperti Bali). Plang kantor pemerintahan dan sekolah pun mendapat pembenahan dengan tambahan tulisan aksara sunda.

Bukan hanya itu, di setiap perempatan, Kang Dedi juga membangun monumen dan patung ciri khas Purwakarta. Misalnya monumen penjual sate maranggi di Cibungur, monumen tembikar khas Pendul di Sadang, dan yang menarik beberapa patung tokoh pejuang di Taman Pembaharuan.

Kinerja Kang Dedi memang luar biasa, tapi bukan tanpa cela. Saat saya berwisata ke Curug Cipurut, Wanayasa, saya sangat terganggu dengan jalanan yang buruk. Jalan berlubang harus kami lalui dari sejak menanjak dari Pasar Rebo, Pasawahan, hingga ke Kota Wanayasa.

Padahal, Desa Pasawahan itu paling hanya selemparan batu dari Kantor Pemkab Purwakarta. Dan yang paling saya sayangkan, pengelolaan sumber daya alam di Purwakarta juga belum terkendali dengan baik.

Misalnya tahun lalu saya masih melihat tambang ilegal galian C beroperasi menambang pasir dan tanah di Sungai Cilampahan, Ciganea. Miris rasanya melihat tambang yang tak jauh dari rumah nenek saya itu. Dulu saat saya kecil, Ciganea rasanya sungguh indah dan teduh.

Tapi sekarang, orang-orang kampung di sana seperti sudah kehilangan harapan hanya bisa pasrah melihat lahan di sekitar mereka dieksploitasi.

Saya yakin Kang Dedi tahu semua permasalahan itu. Meski saat ini beliau sedang gencar keliling melakukan "sosialisasi" bersama beberapa musisi dan pelawak dalam "Dangiang Galuh Pakuan" ke banyak desa dan sekolah.

Saya tahu itu penting untuk memantapkan langkah Kang H. Dedi Mulyadi, SH menuju kursi Gubernur Jawa Barat. Dengan begitu saya juga senang jika dari Jawa Barat banyak muncul figur pemimpin muda alternatif seperti Kang Dedi, Kang Ridwan Kamil, atau Kang Bima Arya.

Saya hanya orang jauh yang mengamati kiprah Kang Dedi. Tapi sebagai orang yang pernah minum es kelapa dan makan sate maranggi, saya hanya ingin titip pesan kepada Kang Dedi agar jangan lupa rumah sendiri.

Ke Cipurut, Mencari yang Bersembunyi di Tempat Terang

Senin, Mei 18, 2015 Add Comment
Curug Cipurut PurwakartaCURUG Cipurut adalah salah satu air terjun yang yang terletak di area hutan lindung Gunung Burangrang, kawasan Bandung Barat.

Hanya saja, untuk menuju Cipurut kita bisa melalui Desa Sumurugul, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta. Desa Sumurugul sendiri adalah sebuah desa wisata.

Penduduk desa ini, sangat sadar tempat tinggal mereka sering dikunjungi turis. Karena itu, kebersihan desa ini pun sangat terjaga.

Di beberapa sudut jalan setapak menuju curug, saya jumpai peringatan dan kutukan dalam Bahasa Sunda agar pengunjung tidak membuang sampah.


Saat sekolah dulu, Cipurut ini tempat pelarian sekaligus pelatihan saya. Saat bosan dengan pelajaran yang memusingkan, saya dan beberapa teman sering berkunjung ke curug ini. Bermotor dari Cikampek, kemudian setelah sampai di sana kami yang semuanya cowok hanya menghabiskan waktu dengan mandi air dingin dan belajar menghisap tembakau.

Yang penting, kami pulang saat sore seperti anak lainnya pulang sekolah agar tidak ketahuan bolos. Hehehe. Tapi di lain waktu, saya juga pernah berkemah untuk tadabur alam bersama anak-anak aktivis islami di sekolah kami.

Curug ini menjadi arena untuk mendoktrin anggota baru. Akhir pekan kemarin, saya kembali mengunjungi curug ini bersama Shahibah. Belasan tahun tak ke sana, rupanya tak banyak yang berubah. Hanya letak bangunan musholla dari kayu, telah berpindah dari kaki curug ke tempat agak ke bawah.

Curug Cipurut Purwakarta
Sejoli memadu kasih mesra di Curug Cipurut. Hehehe :)
Saat kami kunjung, cuaca sedang bersahabat. Hanya saja, jalan tanah setapak yang kami lalui agak basah dan licin, setelah paginya diguyur gerimis. Oya, jalan setapak itu, tidak bisa dilalui motor. Jadi kita harus berjalan kaki sejauh 500 meter dengan kontur menanjak moderat.

Namun, kelelahan menanjak itu terobati dengan pemandangan sepanjang perjalanan. Sejauh mata memandang, Kami di disuguhi hamparan kebun teh, undakan terasering sawah, dan barisan pohon pinus.

Selain itu, suara serangga pohon (tonggeret dalam Bahasa Sunda) pun menjadi musik pengiring perjalanan kami. Sore itu, meski sedang musim liburan long weekend, Cipurut tak banyak dikunjungi wisatawan.

Jadi kami bisa puas berfoto berdua di sana. Sebelum pulang saya sempat berbincang dengan Pak Aceng, seorang pedagang kopi dan mie instan.

Perbincangan itu, mengungkap fakta yang baru saya tahu. Ternyata, di kaki curug ada sebuah mata air obat. Jika diyakini, kata Pak Aceng, bisa mengobati penyakit apa saja. Kebetulan saya dan istri sudah meminum air dari mata air itu saat berada di curug.

Jalan setapak menuju Curug Cipurut yang indah.
Selain itu, di sekitar curug ada sebuah makam wali. Menurut Pak Aceng, di malam-malam tertentu banyak orang berziarah untuk ngalap berkah dan karomah.

"Memang jarang yang tahu, curug ini memang ramai dikunjungi wisatawan. Biasanya, makam aulia itu selalu tersembunyi di tempat yang terang," ujar Pak Aceng.

Saya menggarisbawahi kata 'bersembunyi di tempat yan terang' itu. Wow,, sungguh dalam sekali maknanya. Pak Aceng, mengajak saya untuk mampir lagi lain kali.

Karena menurut dia, ada satu curug lagi di dekat Cipurut yang bisa dieksplorasi. "Curugnya lebih tinggi dan lebih indah. Kalo mau ke sana harus dipandu. Soalnya medannya lebih berat," kata Pak Aceng. Perkataan Pak Aceng itu pun membuat kami jadi penasaran. Jika ada waktu libur lagi, kami telah bertekad kembali untuk mengunjungi Curug Cipurut lagi.

Baduy Cilik Ikut Seba ke Kota Serang

Selasa, April 28, 2015 Add Comment
PADA pelaksanaan Seba Baduy, akhir pekan lalu, tidak hanya pria Baduy dewasa saja yang ikut serta. Saya lihat anak-anak Baduy pun banyak yang diajak bapaknya untuk mengunjungi Kota Serang.

Sayangnya, beberapa kali saya mengajak ngobrol untuk bertanya banyak hal kepada anak-anak itu sering kali mereka malu untuk menjawab.

Pertanyaan saya dijawab bapaknya atau kakaknya. Misalnya pertanyaan apakah mereka sekolah atau tidak. Wajar mereka agak tertutup, pasalnya beberapa anak mengakui peristiwa Seba kemarin adalah pengalaman pertama mereka pergi ke kota.

Bisa saja itu pengalaman pertama mereka pergi ke kota. Tapi setidaknya, mereka sudah sering melihat kota melalui televisi yang secara terbatas. Dan mereka seakan tidak mengalami gegar kebudayaan sama sekali. Mereka tetap kukuh terlihat sebagai anak Baduy.

Yang saya saluti adalah sikap anak-anak itu terhadap kebersihan. Saya lihat tak ada satu pun dari mereka yang membuang sampah sembarangan. Jika anak-anaknya begitu, pria Baduy dewasanya apalagi. Sepanjang pelaksanaan Seba, kebersihan Kota Serang, Banten tetap terjaga.

Padahal ada sekitar 1800 orang Baduy berjalan long march di sekujur jalanan kota. Selama berjalan juga, mereka diam. Tak ada yang berbincang atau ngobrol sambil ngerumpi cekikikan dengan temannya. Jadi, apakah kita masih merasa sebagai orang paling beradab?

Seba Baduy di Serang Banten

Senin, April 27, 2015 Add Comment
Melihat 1800 pria Baduy berjalan di sekujur jalanan Kota Serang, Sabtu siang, rasanya sungguh merinding. Bayangkan, mereka semua berjalan telanjang kaki tanpa sandal atau sepatu. Tentu saja, itulah yang menurut saya Seba Baduy seakan lebih hebat dari Historical Walk Konferensi Asia Afrika di Bandung, kemarin.

Seba adalah peristiwa tahunan, saat orang Suku Baduy akan menemui Gubernur Banten untuk berbicara antara rakyat dan pemimpin. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak Banten masih berupa Kesultanan.

Karena itu juga, Seba Baduy jadi seakan lebih hebat dari demonstrasi buruh dan mahasiswa. Jika buruh dan mahasiswa demo ke DPR, orang Baduy ini sepertinya malah tak butuh DPR sama sekali. Jika mereka perlu sesuatu, mereka akan langsung menemui pimpinan daerah. Misalnya saja, saat Seba Baduy tahun lalu mereka pernah minta agama Sunda Wiwitan masuk dalam kolom KTP.

Rakyat Beri Upeti untuk Pejabat

Minggu, April 26, 2015 Add Comment
PADA pelaksanaan Seba Baduy, orang-orang Suku Baduy (luar dan dalam) berbondong ke Pendopo Gubernur Banten untuk menyerahkan upeti. Betapa repotnya mereka membawa hasil bumi seperti bertandan-tandan pisang, berkarung-karung beras dari huma, gula aren, dan madu.

Semua itu mereka berikan untuk para 'penggede'. Ingat lho, banyak dari mereka yang berbondong-bondong jalan telanjang kaki. Tapi setelah upeti itu diberikan, mereka tak menuntut banyak hal dari para penggede itu.

Mereka tak menuntut dibangunkan fasilitas kesehatan lengkap, sekolah, atau infrastruktur yang nilainya triliunan. Orang Baduy hanya meminta mereka dijamin hidup aman di kampungnya, di Kanekes, Banten. Itu saja.

"Kok masih feodal sih, bayar-bayar upeti?" mungkin begitu celoteh kita yang merasa lebih beradab. Padahal mah di kota juga tradisi beri memberi upeti ini masih sering berlangsung.

Kalo ngga, saya yakin lembaga yang namanya KPK ngga akan pernah ada. Saya sendiri, melihat prosesi orang Baduy memberikan upeti itu rasanya, asa kumahaaa kitu.

Kita yang tinggal di kota, juga selalu menjadikan pajak sebagai pembenaran segalanya. Kita adalah kelas menengah ngehe yang setelah membayar pajak, merasa bisa menuntut apa saja dari negara.

Tanpa kita sendiri bersikap menuntut kepada diri sendiri. "Gue kan udah bayar pajak.." jadinya kita pakai mobil pribadi setiap hari sambil misuh-misuh karena kena macet. "Gimana sih ini macet?! Polisi di mana sih?"

Hampir setiap hari makian seperti itu terbaca oleh saya di time line media sosial. Padahal yang menyebabkan macet ya orang yang memaki itu sendiri.

Mengenang Cibungur yang Dulu

Rabu, Maret 25, 2015 Add Comment


CIBUNGUR yang saya kenal adalah kawasan hutan jati. Tentu itu dulu, dulu sekali. Sebelum pohon jati dibabat menjadi kawasan industri dan dibangun untuk jalan tol Cipularang dan tol Cikampek-Cirebon. Setiap hendak kunjung ke rumah nenek, di Purwakarta saat lebaran, Cibungur selalu jadi tempat persinggahan kami.

Stasiun Cibungur Purwakarta
Keponakan saya Kaffah bermain di rel mati.
Di pinggiran hutan Cibungur ada beberapa warung lotek dan karedok yang enak. Salah satunya ada di dekat Stasiun Cibungur. Selain lotek dan karedok, kuliner yang juga terkenal adalah sate maranggi dan es kelapa.

Karena lingkungan hutan jati yang teduh, dahulu Cibungur pun menjadi kawasan ekonomi yang ramai. Barisan warung oleh-oleh, warung makan dan restoran banyak berdiri di sepanjang pinggir jalan. Tapi sejak jalan tol Cipularang beroperasi, kegiatan ekonomi di Cibungur seakan meredup.

Hanya satu warung sate maranggi tersisa yang hingga kini masih laku, sementara restoran dan warung lainnya gulung tikar. Jika warung dan restoran lain gulung tikar, sebaliknya warung milik Bu Yeti itu malah makin berkibar.

Tol Cipularang yang bagi restoran lain menjadi bencana, justru buat warung Bu Yeti ini menjadi berkah. Warungnya yang dulu pada 1990an hanya di emperan rumah, kini sudah sangat besar dilengkapi tempat parkir yang lapang.

Ini yang membuat saya penasaran. Selain karena rasa sate maranggi yang enak, tentu saja ada kerja keras lain yang membuat warung itu beda. Rasa penasaran di benak saya itu belum terjawab, karena saat makan di warung itu pekan lalu saya tak berhasil menemui Bu Yeti.

Saya hanya memandangi foto-foto beliau bersama para orang ternama dalam barisan pigura yang dipasang di samping warungnya. Dari situ saya tahu, kenapa warung ini terkenal. Salah satu penggemar sate marangi Cibungur itu adalah Shahibah.

Jika kunjung ke rumah orang tua saya di Cikampek, pasti kami menyempatkan diri makan di sana. Satu lagi yang sangat suka jalan-jalan ke Cibungur adalah keponakan kami, Kaffah.

Dia sih bukan penyuka sate maranggi, tapi sangat suka dengan suasana stasiun. Sebagai penggemar berat hal-hal berbau kereta, Kaffah begitu riang selama di stasiun kecil ini. Dia pun senang berlari di atas lintasan rel bak Thomas The Tank Engine, kereta yang bisa berbicara dan teman-temannya di Pulau Sodor. Tut tuutt...

Belajar Kesederhanaan dari Pesantren Kesuren

Jumat, Februari 27, 2015 Add Comment
Pesantren Kesuren Serang BantenSEDERHANA dan Miskin. Keduanya adalah hal berbeda. Tapi kadang kita melihatnya seperti sama. Di situ yang kadang saya merasa sedih. Saya mendapat pelajaran tentang tipisnya perbedaan sederhana dan miskin itu saat mengunjungi Pondok Pesantren Kesuren, Serang, Banten, dua hari lalu.

Yang mengajak adalah sahabat saya, Ismatillah. Saya sungguh kagum dengan gaya hidup para santri di pesantren ini. Asrama atau kobong tempat mereka tinggal hanyalah rumah panggung berdinding bilik bambu non permanen.

Siang itu, saya lihat para santri tengah bergotong royong untuk melapisi bilik bambu sebagian kamar dengan kertas. Kamar bilik bambu berukuran 1 x 2 meter yang terbilang sederhana itu adalah tempat pemondokan santri.

Ada sekitar sepuluh kamar di pesantren itu. Jika tak dilapisi kertas, angin malam pasti akan mudah menyusup. Laku sederhana itu sepertinya memang disengaja. Pendiri sekaligus pimpinan pondok Ustadz Agus Rahmat mengatakan pada saya bahwa kesederhanaan adalah inti dari kurikulum Kesuren. Pesantren ini didirikan pada 2013 lalu, sengaja bercorak kobong atau pesantren tradisional (salafiyah).

“Mereka sudah hidup perih dengan tinggal di kamar bilik bambu, jadi akan sangat rugi bagi santri di sini jika mereka tidak belajar dengan sungguh-sungguh.”


"Jadi kalo santri pesantren yang asramanya bagus tidak hapal kitab, saya rasa wajar. Tapi kalo santri di pesantren ini masih tidak hapal juga, pasti ruginya dua kali lipat," ujar Agus.

 Di situ kadang saya merasa tertampar. Dulu ketika saya mondok belasan tahun lalu, rasanya sudah sangat mewah. Tinggal di asrama dengan bangunan permanen dan berbagai kemudahan lain seperti makan di dapur umum yang disediakan juru masak.

Di Kesuren, untuk makan santri harus memasak sendiri. Hampir setiap hari, mereka memasak nasi liwet dan makan bersama di atas nampan secara bancakan.Sungguh klasik. Meski tinggal di gubuk, menurut Agus, dia kerap mendengar santrinya tertawa terbahak.

Mereka seakan lupa pada kondisi pondok mereka tinggal. “Saya setiap hari mendengar mereka tertawa. Berarti mereka tidak hidup menderita. Justru sebaliknya, mereka hidup senang,” tegas Agus.

Uniknya, Agus bercerita, ada seorang pengusaha di Serang yang dilanda penyakit insomnia. Dia kerap kesulitan memejamkan mata, meski tinggal di rumah mewah dan sering menginap di hotel mewah. "Saat saya ajak ke sini, kami pun ngobrol sebentar. Dia kemudian berbaring di pondokan, dan langsung tertidur lelap,” ujar Agus berseloroh.

Kehidupan sederhana ala Kesuren itu memang merujuk pada kehidupan kaum sufi (wara' dan zuhud). Di era sekarang, kita bisa menjumpai laku sederhana itu seperti yang dilakukan bekas Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dan Presiden Uruguay Jose Mujica.

Saat masih menjadi presiden,, Ahmadinejad kerap ditemui mengenakan pakaian apa adanya seperti rakyat kebanyakan. Bahkan setelah tidak lagi menjabat presiden, Ahmadinejad kembali menggunakan bus untuk berangkat mengajar ke kampus.

Kehidupan Jose Mujica di Uruguay juga sungguh luar biasa. Meski dia presiden, dia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana, mengendarai mobil VW kodok, dan bertani. Sebagai presiden, dia memiliki gaji 20 ribu dollar, namun 80 persennya dia sumbangkan. Sehingga dia akan seperti penduduk Uruguay kebanyakan.

Di negeri kita, sudah lama rakyat merindukan pemimpin sederhana seperti itu. Sehingga ketika, ada orang yang memperlihatkan dirinya sangat sederhana dan mau dekat dengan rakyat dengan blusukan, kita pun memilihnya menjadi presiden. Pada taraf ini, kita hanya senang pada orang yang melakukan gaya hidup sederhana, sehingga memilihnya.

Namun sayangnya kadang kita lupa, apakah kita sudah berbuat hal serupa.

Catatan ini dimuat di Harian Nasional, Jumat (27/2).

Romansa di Atas Roda

Minggu, Februari 08, 2015 Add Comment

SUATU malam, di tengah hutan kota Cinere. Ban vespa saya bocor. Tak ada sesiapa di situ. Suasana gelap mencekam. Jarum jam sudah mendekati angka 12.

Saat itu, saya dan dia berkendara usai melawat sebuah acara reuni kecil di Sawangan, Depok. Usai vespa saya parkirkan di pinggir jalan, raut cemberut saya lihat di wajahnya.

Tapi, suasana gelap dan jauh dari pemukiman memaksanya setia. Setelah saya tenangkan bahwa mengganti ban vespa hanya butuh waktu setengah jam, dia pun mulai ikut membantu.

Vespa memang sepeda motor istimewa. Ban motor pabrikan Italia itu prinsipnya seperti mobil. Depan belakang sama, dan jika bocor kita harus menyediakan ban serep. Keistimewaan lainnya, kekeluargaan para penunggang vespa seperti tak ada duanya. Prinsip 'satu vespa sejuta saudara' selalu dijunjung.

Seperti malam itu, tak lama ketika saya mengganti ban bocor, dua orang menghampiri kami. Mereka mengendarai motor matic. Namun mengaku anak vespa dan dengan sukarela membantu saya menggantikan ban bocor dengan ban cadangan. Setelah dirasa beres, kami berkenalan dan saya ucapkan terima kasih. Mereka pun pergi.

Sialnya, ban serep yang saya bawa malam itu tak terisi angin penuh. Akibatnya beres satu masalah masih ada masalah lainnya. Vespa tak bisa langsung kami tunggangi berboncengan.

Terpaksa kami berjalan berdua di kegelapan sambil menuntun vespa mencari tukang tambal ban. Kami baru mendapat tambal ban di pasar Pondok Labu. Sebetulnya, ada banyak momen romantis kami di atas vespa. Semuanya selalu berkesan. Dan sepanjang perjalanan itu, kami berbincang tentang saat-saat di mana sengsara yang menguji kesetiaan. Kami menertawakan kesialan. Dan berharap tak mengulanginya lagi. Mohon doanya agar kami seterusnya saling setia.