Hikayat Tikar Mayat

Selasa, Juli 31, 2018
Tikar pandan alias tikar mayat... hiii...

ZAMAN now, di saat peralatan mendaki kian canggih ternyata masih saja ada orang yang suka membawa peralatan yang masih tradisional. Teman saya Idris suka banget bawa tikar pandan buat alat tidur di dalam tenda. Duh, padahal dia masuk generasi milenial loh. Biasanya kan generasi kekinian maunya peralatan mendaki yang canggih bermerek, kalo bisa merek luar negeri. Tapi Idris memang beda, dia selalu anti mainstream.

Ketika teknologi alas tidur di pegunungan sudah sangat canggih seperti matras dan sleeping bag yang bisa menolak dinginnya tanah dan memantulkan panas tubuh, serta ada kasur tiup yang bisa dilipat segenggaman. Anehnya, Idris masih aja setia dengan tikar pandannya.

Yang bikin kaget tentu saja, saat Idris menyebut tikar wasiat yang selalu dibawanya mendaki itu dengan sebutan sangar, "Tikar Mayat".

"Ya emang ini tiker buat mayat," ujar Idris. Saat dia menjelaskan asal-usul tikar tersebut.

Jadi, menurut Idris tikar itu dibawanya dari kampung halamannya di Brebes dari warung ibunya yang memang berjualan peralatan penguburan. Tikar pandan itu biasanya dijual sepaket dengan kain kafan, kapas, dan kapur barus, untuk memulasara jenazah.

"Tapi ya jangan disebut tiker mayat lah, sebut aja tikar pandan," ujar saya memprotes.

Kesannya emang seram banget, masak iya mau mendaki bawa-bawa istilah mayat. Saya khawatir aja, kita naik gunung mau senang-senang malah ada yang pulang udah jadi mayat. hiii....

Terlebih Idris mengatakan istilah "tikar mayat" itu saat kami akan mendaki Gunung Ciremai. Ciremai (3078 mdpl), gunung tertinggi di Jawa Barat, seringkali dilekatkan pada suasana mistis. Banyak cerita horor ditulis pendaki yang pernah mengunjungi gunung ini. Medan di sana juga lumayan bikin dengkul cenat-cenut dan jantung deg-degan.

Idris dan tikar pandan a.k.a tikar mayat terikat di ranselnya.

Dini hari itu, usai kami tiba menempuh perjalanan dari Jakarta dengan kereta Cirebon Ekspres dan dilanjut dengan mobil carteran dari Cirebon ke Palutungan, saya lihat Idris begitu ngantuk. Begitu sampai di basecamp Palutungan, dia langsung menggelar "tikar mayat" di atas ubin yang dingin. Berbantalkan tas daypack, dia mulai lelap bersama Ahmad, teman kami pendaki asal Yogyakarta.

"Alhamdulillah, tidur di tikar ini bisa bikin kita tobat. Jadi inget alam barzah," canda Ahmad sebelum rebah.

Dari naik hingga turun kembali di Ciremai, alhamdulillah tidak ada sesuatu apapun. Idris dan Ahmad yang tidur setenda di atas tikar itu sepertinya santai-santai saja. Tak terdengar keluhan kedinginan, meski hawa di Pos Sang Hyang Ropoh begitu dingin menggigit sejak lepas maghrib.

Bahkan, tikar pandan a.k.a tikar mayat kembali dibawa Idris saat kami mendaki Gunung Prau. Menurut dia, tikar itu lebih enteng dan sangat murah dibanding matras.

Selain itu, kalo menurut saya, kelihatannya lebih eksotis dan retro. hehehe...

Apakah Anda tertarik camping membawa tikar mayat seperti Idris? Kalo mau beli barang gituan, jangan cari di mall atau toko outdoor. Pasti ga bakal ketemu. Belinya ya di pedagang yang berjualan peralatan ziarah dan sesaji. Kalo di Jakarta Timur, saya sering lihat pedagang seperti itu di Pasar Kramat Jati.

Anda bisa beli tikarnya aja. Tapi kalo mau uji nyali yang ekstrim, bisa beli dan bawa sepaket dengan alat penguburan. Paket lengkap dibawa camping. Hihihihiiii...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »