Deru Debu Kemarau di Gunung Prau

Minggu, September 30, 2018 Add Comment
Prau memang berdebu... Tapi syeruu.
Masih inget Debu? Kalo Anda merasakan masa remaja di dekade 2000an pasti inget sama grup band yang anggotanya ekspatriat, tapi menyanyikan lagu kasidahan. Biasanya mereka banyak ditanggap saat Bulan Puasa. Nah, hubungannya sama artikel ini apa? Ngga ada.😜😝

Yang mau saya bahas debu dalam arti kata sebenernya. Butiran debu, seperti disebut sebuah lagu melow. Hadeeeuh, lagi-lagi malah nyerocos ke lagu.

Musim kemarau, debu sangat mudah berterbangan di Gunung Prau. Jika Anda mau mendaki gunung ini harus siap membawa masker dan kacamata. Kalo tidak alamat Anda kesulitan bernafas dan melihat.

Tema debu dan antisipasinya saya garis bawahi di postingan ini. Pasalnya, ada seorang teman yang lupa bawa masker dan kacamata, jadinya dia memaki-maki perjalanan. Padahal namanya naik gunung Anda harus siap di setiap medan dan kondisi. Terlebih, Gunung Prau ini adalah gunung yang memiliki popularitas bak artis papan atas.

Saking terkenalnya gunung di Dataran Tinggi Dieng ini, setiap hari jadi tujuan ribuan pendaki. Di hari biasa aja rame, apalagi akhir pekan. Kalo dulu orang bilang ke gunung mau menyepi, maka Prau bukanlah tempatnya. Saking ramenya, perjalanan naik ke dan turun dari puncak pun harus antre. Kemacetan lalu lalang orang betul-betul terjadi, mirip dengan macetnya mobil di jalanan Jakarta. Akibatnya di puncak Prau dan Bukit Teletubies orang bikin tenda harus berdempetan, mirip parkiran mobil di basement mall.

Macet di jalur pendakian Gunung Prau. Udah macet bawa carrier berat banget. Hadeehh...
Mungkin ke depannya untuk mengantisipasi kemacetan perlu diberkalukan sistem ganjil-genap untuk naik gunung ini. Bisa juga pake sistem buka-tutup jalur seperti di Cisarua, Puncak. Atau bisa juga minta bikinin jalan tol ke Jokowi. 😜😂

Kenapa sih Prau begitu popular?

Terlepas dari masalah debu, Prau memang sangat memukau. Pemandangan di puncak gunung ini suunggguh indah. Banyak orang yang sudah naik ke gunung ini berkali-kali, tapi tidak merasa bosan. Yang saya temui, ada orang yang sudah enam kali naik ke gunung ini. Dan dia masih belum bosan.

Selain menyajikan pemandangan indah, Prau juga terbilang relatif mudah didaki. Perjalanan dari basecamp Patak Banteng hingga puncak hanya memerlukan waktu sekira 2,5 jam. Durasi itu juga sudah termasuk istirahat dan becanda. Bahkan kalo mau lebih singkat lagi, Anda bisa naek ojek dari basecamp ke Pos 1 dengan ongkos Rp25 ribu.

Ramenyaaaa. Kalo buka warung kopi pasti laku nih.. Tapi alhamdulillah, pengelola Gunung Prau cukup waras, membatasi warung hanya sampai Pos 2. Setelah masuk hutan, ngga ada lagi orang jualan.
Loh kok tau tarif ongkos ojeknya? Yaiyyalah, saya juga naik ojek waktu naik dan turun dari Pos 1. Enak toh? Saya sama sekali tak merasakan lelahnya mendaki jalan makadam dari basecamp ke Pos 1.

Pendeknya durasi pendakian, membuat gunung ini sangat direkomendasikan bagi para pendaki pemula atau yang sering disebut pendaki 5cm. Lebih singkatnya, Prau itu tak terlalu menguras fisik tapi menyajikan pemandangan indah banget.

Ga perlu kerja keras tapi gaji dan bonus gede, begitu analoginya. Selain Prau, ada juga Gunung Andong di Magelang yang kondisinya mirip. Sangat direkomendasikan untuk orang yang baru memulai hobi hiking.

Ada apa sih di puncak Prau? Saya hanya bisa menggambarkan singkat dengan empat kata: Sindoro, Sumbing, Sabana, dan bunga daisy. Selebihnya biarkan foto bicara. 👇👇👇

Foto keluarga cemara, ibu, bapak, dan anak dua dengan latar Gunug Sindoro-Sumbing.

Anak-anak maen dulu ya, bapak sama ibu mau futu-futu...

Lima "Permata" Wisata Dieng yang Bikin Kami Tersepona

Minggu, September 30, 2018 Add Comment
Keliling Dieng enaknya naik motor. Alagi motor pinjeman...
Mengunjungi Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, ada banyak pilihan tempat wisata. Tak cukup satu hari untuk menjelajahi semuanya. Dieng itu seperti tak habis-habis untuk diekplorasi. Selalu saja ada yang baru untuk dijelajahi. Semuanya membuat kami tersepona, eh terpesona. Hahaha... Jayus.😅

Namun jika waktu Anda terbatas dan tak mau berlama-lama, setidaknya ada lima tempat yang menurut saya bisa Anda kunjungi di Dieng. Setidaknya ini bisa Anda jadikan patokan, buat yang baru pertama kali berkunjung ke Dieng.

Sebagai catatan, untuk lebih menghemat waktu, sebaiknya Anda naik motor. Tapi bagi Anda yang membawa mobil pribadi tak masalah. Hanya saja, mungkin Anda akan agak sedikit lambat karena lalu lintas Dieng itu mirip dengan Puncak di Bogor, atau di Ciwidey, Jawa Barat. Menanjak dan sering macet.

Berikut ini, lima tempat di Dieng yang kami sambangi. Bak permata, tempat-tempat wisata itu akan semakin dipulas, maka akan semakin berkilau. Untuk empat tempat pertama, kami hanya menghabiskan waktu tak lebih dari empat jam, dari jam enam hingga jam 10.

1. Kawah Sikidang

Idris ngiler pengen sauna di Kawah Sikidang.
Kawah Sikidang adalah tempat pertama yang kami datangi. Ini karena petunjuk jalan menuju tempat ini begitu mudah ditemukan. Sebetulnya ada banyak kawah di Dataran Tinggi Dieng, tapi tak semuanya aman untuk dikunjungi. Kawah-kawah itu bahkan ada yang mengeluarkan gas beracun. Salah satu yang aman adalah Kawah Sikidang. 

Kawah Sikidang ini adalah kawah gunung berapi aktif yang mendidih bergejolak setiap saat. Ukuran kawahnya tak besar, hanya seukuran empang sekira 100 meter persegi.

Di kawah ini, pengunjung bisa puas berfoto. Ada banyak spot berfoto yang dikelola secara sporadis. Jadinya, spot foto itu bukan memperindah malah membuat kawasan sekitar kawah agak kumuh dan berantakan. Yang membuat miris saya, adanya lapak spot selfie yang menyediakan burung hantu untuk teman foto pengunjung. Saya tak tega melihat burung hantu yang ngantuk, karena mereka makhluk nokturnal yang butuh tidur di siang hari, malah dipaksa kerja.

di Kawah ini, pengunjung bisa membeli telur rebus di Kawah. Entah, apa bedanya telur di rebus dengan biasa dibanding dengan yang direbus air kawah mengandung belerang? Kalo ada yang tahu khasiatnya telur rebus kawah ini, silakan komen..

Greget banget. Rebus telor di kompor udah mainstream. Ini mah rebus telor di kawah bau belerang..

Melihat aktifnya kawah Sikidang, seharusnya ada pemandian air panas di sekitar situ. Sayangnya hingga keluar kawasan itu, saya tidak menemukannya. Padahal kalo ada pemandian air panas, mungkin tempat ini lebih seru.

2. Telaga Warna

Pose ala-ala anak band di Telaga Warna yang mengering. Rafieq, Idris, Shahibah, dan saya. 

Konon, warna air di telaga ini bisa berubah-ubah kuning, biru, dan hijau. Saat kami ke sana air telaga hanya tampak warna hijau. Kenapa bisa berubah warna, karena air telaga ini mengandung sulfur. Fenomena alam ini mirip dengan yang ada di Segara Anak di Gunung Rinjani.

Tak ada waktu untuk menunggui telaga itu berubah-ubah warna, karena perubahan warnanya tidak setiap lima menit. Lebih baik jalan kaki berkeliling telaga ini. Jalan setapakanya rapih dan bersih. Toilet juga tersedia cukup bersih.

Karena air telaga sedikit mengering, kami berempat saya, Shahibah, Idris, dan Rafieq bisa berfoto hingga ke tengah. Hasil fotonya keren, tak perlu spot foto selfie seperti di Kawah Sikidang sebelumnya. Aktivitas orang yang ke sini kebanyakan hanya berfoto di pinggir telaga, lalu gelar tiker dan buka bekal.

3. Batu Ratapan Angin

Telaga Warna lebih indah dari atas sini. Seandainya datang ke sini lebih pagi, pasti lebih indah... Hiks, akhirnya hanya bisa meratap bersama angin di Batu Ratapan Angin.

Pemandangan Telaga Warna bisa dilihat dari atas bukit. Nama tempatnya Batu Ratapan Angin.
Sayangnya, pengelola dua tempat itu berbeda. Jadi, jika ingin ke Batu Ratapan Angin harus keluar dulu dari Telaga Warna.

Kalo naik motor, Anda hanya perlu ngegas menanjak sekira 2km dari pintu masuk Telaga Warna. Parkirkan motor dekat Museum Dieng Plaeteu, lalu berjalan ke celah sempit perbukitan. Di sana loket pengunjung diminta bayaran.

Setelah loket, terus naik ke puncak bukit. Dari titik puncak itulah kita akan melihat pemandangan Dieng dengan semua sudutnya. Telaga Warna, dan satu lagi Telaga Pengilon persis berada di bawah titik pandang bukit Batu Ratapan angin itu.

Waktu kami di sana, antrean untuk berfoto di puncak bukit lumayan banyak. Harus cukup sabar menunggu orang berfoto dengan berganti-ganti gaya.

Karena saya tak mau bete menunggu, saya pun mengambil peran menjadi juru foto dadakan di sana. Saya arahkan orang-orang yang berfoto biar mereka cepat selesai. Seorang cewek sempat ngambek, karena dia ga puas difotoin. Hahaha...😂

4. Candi Arjuna 

Susah banget mau dapa foto bagus, karena rame terus.

Kami datang ke kawasan kompleks Candi Arjuna ketika matahari sudah hampir setinggi galah. Karena Dieng berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl), jadinya cuaca panas pun tak terasa. Rasanya masih dingin seperti pagi, bahkan tengah hari itu kami masih pakai jaket.

Pada posisi ketinggian seperti itu, matahari lebih dekat. Jadinya lebih panas dan membakar kulit. Tapi karena suhu rendah, panas itu tak terasa. Saat itu kami tak memakai tabir surya, akibatnya terasa saat kami sudah balik. Bibir pecah-pecah dan kulit wajah terasa terbakar. Parah dah...

Mengenai Candi Arjuna sendiri, adalah kawasan bersejarah dan ikonik di Dieng. Setiap Agustus, kawasan ini menjadi magnet karena jadi tempat digelarnya Dieng Cultural Festival (DCF). Ketika kami ke sana, DCF sudah selesai digelar. Dan memang sengaja kami melewatkannya karena saat pelaksanaan DCF, kawasan Dieng super macet.

Peninggalan peradaban Hindu ini, meski berdekatan dengan tiga lokasi sebelumnya, tidak termasuk ke Kabupaten Wonosobo melainkan Kabupaten Banjarnegara. Ya memang Dataran Tinggi Dieng sendiri ada dalam tiga kabupaten, yakni Wonosobo, Banjarnegara, dan Batang.

Arjuna menemukan cinta di Candi Arjuna.


Seperti umumnya candi-candi di Dieng, masyarakat memberikan nama tokoh pewayangan Mahabarata sebagai nama candi. Jadi, di kompleks ini juga terdapat Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra.

Namun yang paling terkenal Candi Arjuna, terletak paling utara dari deretan percandian di kompleks tersebut. Sementara Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling berhadapan.

Meski Anda bukan turis yang serius mengulik sejarah dan antropologi, di kawasan Candi Arjuna ini sebetulnya banyak bisa dieksplorasi. Tapi kebanyakan turis ke sini buat ambil foto, terus baca keterangan sejarah sedikit, dan jajan di warung.

5. Gunung Prau


Mengenai Gunung Prau, mari kita bahas di postingan berikutnya ya...

Sunrise moment di Gunung Prau. Selalu bikin kangen pengen ke sana lagi.

Beban Ganda Lelaki, Jadi Porter Demi Istri

Kamis, September 27, 2018 Add Comment
Demi nyai, akang rela jadi porter...

Dalam kehidupan nyata rumah tangga, secara sosiologis perempuan karier selalu disebut memiliki beban ganda. Mereka harus memikul dua beban sebagai pekerja dan mengurus rumah tangga.

Teori beban ganda itu ada untuk menyadarkan pria bahwa perempuan seharusnya tidak memikul beban melebihi kemampuannya. Harusnya seperti kata pepatah, "ringan sama dijinjing, berat sama dipikul."

Gotong royong dalam kehidupan rumah tangga adalah hal yang musykil. Lelaki tak usah canggung membantu pekerjaan domestik seperti mencuci piring, karena perempuan pun banyak yang pintar cari duit untuk tambah-tambah uang dapur biar terus ngebul.

Nah, dalam dunia hiking. Kadang beban ganda terpaksa harus dipikul lelaki. Double carrier, alias membawa dua tas ransel di depan dan belakang adalah hal biasa.

Dalam setiap pendakian, saya selalu saja memikul beban ganda membawakan ransel Shahibah, selain membawa milik sendiri. Tentu dua ransel itu sebetulnya untuk keperluan kami berdua juga. Jadi, di dunia pendaki, suami siaga itu adalah suami yang siap menjadi porter untuk istrinya. 😝

Tapi saat mendaki Ciremai saya terpaksa menyerah di Tanjakan Asoy, membawa beban dua ransel yang saya gendong dari basecamp. Saya terpaksa mengoper satu ransel milik Shahibah untuk dibawa Ahmad, rekan kami. Untungnya Ahmad mau membawakan. Padahal dia adalah pendaki yang terbilang presisi untuk urusan bawaan.

Dari dialah kemudian kami mendapat ilmu mengenai ultralight backpacking, yaitu cara membawa perlengkapan camping seringan dan seringkas mungkin. Seperti saat mendaki Ciremai, dia hanya membawa tas daypack 40 liter, berisi perlengkapan untuk menginap semalam.

Ini di perjalanan pulang, barang bawaan udah lumayan lebih enteng.

Setelah menyadari beban yang dibawa saat camping tak seharusnya berat-berat amat, di pendakian Gunung Prau, beban ganda itu tak terjadi lagi. Namun, saya masih membawa carrier 65 liter untuk keperluan kami berdua, termasuk tenda dan matras.

Kini setelah kejadian di Tanjakan Asoy tak mau lagi saya memikul beban ganda. Saya makin sadar mengenai pentingnya prinsip ultralight backpacking dan kapok bawa beban ganda. Lebih baik, bawa barang seperlunya aja yang memang diperlukan. Cara mengepak baju dan perlengkapan pun seringkas mungkin.

Kalo bisa ringkas dan enteng, ngapain naik gunung bawa beban berat-berat?

Hikayat Tikar Mayat

Selasa, Juli 31, 2018 Add Comment
Tikar pandan alias tikar mayat... hiii...

ZAMAN now, di saat peralatan mendaki kian canggih ternyata masih saja ada orang yang suka membawa peralatan yang masih tradisional. Teman saya Idris suka banget bawa tikar pandan buat alat tidur di dalam tenda. Duh, padahal dia masuk generasi milenial loh. Biasanya kan generasi kekinian maunya peralatan mendaki yang canggih bermerek, kalo bisa merek luar negeri. Tapi Idris memang beda, dia selalu anti mainstream.

Ketika teknologi alas tidur di pegunungan sudah sangat canggih seperti matras dan sleeping bag yang bisa menolak dinginnya tanah dan memantulkan panas tubuh, serta ada kasur tiup yang bisa dilipat segenggaman. Anehnya, Idris masih aja setia dengan tikar pandannya.

Yang bikin kaget tentu saja, saat Idris menyebut tikar wasiat yang selalu dibawanya mendaki itu dengan sebutan sangar, "Tikar Mayat".

"Ya emang ini tiker buat mayat," ujar Idris. Saat dia menjelaskan asal-usul tikar tersebut.

Jadi, menurut Idris tikar itu dibawanya dari kampung halamannya di Brebes dari warung ibunya yang memang berjualan peralatan penguburan. Tikar pandan itu biasanya dijual sepaket dengan kain kafan, kapas, dan kapur barus, untuk memulasara jenazah.

"Tapi ya jangan disebut tiker mayat lah, sebut aja tikar pandan," ujar saya memprotes.

Kesannya emang seram banget, masak iya mau mendaki bawa-bawa istilah mayat. Saya khawatir aja, kita naik gunung mau senang-senang malah ada yang pulang udah jadi mayat. hiii....

Terlebih Idris mengatakan istilah "tikar mayat" itu saat kami akan mendaki Gunung Ciremai. Ciremai (3078 mdpl), gunung tertinggi di Jawa Barat, seringkali dilekatkan pada suasana mistis. Banyak cerita horor ditulis pendaki yang pernah mengunjungi gunung ini. Medan di sana juga lumayan bikin dengkul cenat-cenut dan jantung deg-degan.

Idris dan tikar pandan a.k.a tikar mayat terikat di ranselnya.

Dini hari itu, usai kami tiba menempuh perjalanan dari Jakarta dengan kereta Cirebon Ekspres dan dilanjut dengan mobil carteran dari Cirebon ke Palutungan, saya lihat Idris begitu ngantuk. Begitu sampai di basecamp Palutungan, dia langsung menggelar "tikar mayat" di atas ubin yang dingin. Berbantalkan tas daypack, dia mulai lelap bersama Ahmad, teman kami pendaki asal Yogyakarta.

"Alhamdulillah, tidur di tikar ini bisa bikin kita tobat. Jadi inget alam barzah," canda Ahmad sebelum rebah.

Dari naik hingga turun kembali di Ciremai, alhamdulillah tidak ada sesuatu apapun. Idris dan Ahmad yang tidur setenda di atas tikar itu sepertinya santai-santai saja. Tak terdengar keluhan kedinginan, meski hawa di Pos Sang Hyang Ropoh begitu dingin menggigit sejak lepas maghrib.

Bahkan, tikar pandan a.k.a tikar mayat kembali dibawa Idris saat kami mendaki Gunung Prau. Menurut dia, tikar itu lebih enteng dan sangat murah dibanding matras.

Selain itu, kalo menurut saya, kelihatannya lebih eksotis dan retro. hehehe...

Apakah Anda tertarik camping membawa tikar mayat seperti Idris? Kalo mau beli barang gituan, jangan cari di mall atau toko outdoor. Pasti ga bakal ketemu. Belinya ya di pedagang yang berjualan peralatan ziarah dan sesaji. Kalo di Jakarta Timur, saya sering lihat pedagang seperti itu di Pasar Kramat Jati.

Anda bisa beli tikarnya aja. Tapi kalo mau uji nyali yang ekstrim, bisa beli dan bawa sepaket dengan alat penguburan. Paket lengkap dibawa camping. Hihihihiiii...

Mencari Damai di Ciremai

Senin, Juli 30, 2018 Add Comment
Bersama sahabat mencari damai. Mengasah pribadi mengukir cinta... Hoo hoo...



SEPOTONG bait lagu "Mahameru" milik Dewa 19 itu terngiang dari headphone bluetooth yang saya kenakan di atas Kereta Cirebon Ekspres (Cireks). Mencari damai di Ciremai, karena tujuan kami hendak ke gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Suara deru gesekan rel dan besi ban kereta sama sekali tak terdengar karena musik saya setel cukup kencang. Saya lihat Shahibah telah lelap di samping saya. Jika dia bangun, tak mungkin saya bisa menikmati musik dengan volume keras. Pasti dia akan ngemol alias ngomel, "Aa jangan nyetel musik kenceng-kenceng, nanti kuping kamu budeg!" Saya udah hapal emolannya, karena terlalu sering dia ngomong gitu. Hehehehe... 😜

Kereta Cireks ini sungguh nyaman. Bahkan mungkin moda transportasi paling nyaman jurusan Cirebon, dibanding bus AKAP seperti Bhinneka, Sahabat, dan Luragung yang biasa kami naiki jika pulang kampung ke Indramayu. Tak perlu saya jelaskan perbedaan dua moda transportasi ini, karena udah terlalu banyak dibahas orang. Tapi ada satu hal aja kekurangan kereta Cireks dibanding bus AKAP, yaitu sepi ga ada pengamen nyanyi lagu dangdut koplo panturaan. Saya bukan fans Via Vallen atau Nella Kharisma, tapi saya suka dangdut tarling klasik, seperti lagu "Pemuda" atau "Mabok Janda" yang sering dinyanyikan pengamen pantura dengan speaker karaoke atau ukulele mereka. 

Kembali ke Shahibah yang lelap berselimut kain tenun Baduy, saya melihatnya dengan penuh rasa maklum. Pasalnya, dia baru saja melakoni perjuangan melelahkan untuk bisa menaiki kereta ini. Saya aja yang rutin berlari sungguh lelah dan merasa jantung hampir copot, apalagi istri saya itu.
Kain tenun baduy yang menyelimuti kami dari dinginnya AC Kereta Cireks.

Kami tiba di Stasiun Gambir saat masinis sudah menyalakan mesin lokomotif. Panggilan untuk para penumpang segera naik terus diulang-ulang berbarengan suara bel khas tanda kereta segera berangkat. Sementara kami baru turun dari ojek, belum mencetak tiket, dan menyiapkan KTP untuk melewati peron.

Untungnya turun dari ojek tak perlu bayar lagi karena langsung potong saldo. "Makasih ya bang," ucap saya sambil tergopoh lari menuju mesin cetak tiket. Untungnya, kode booking tiket pembelian online tiket KAI dari email sudah saya simpan dengan screenshoot biar lebih mudah dicari. Tapi karena terburu-buru, setelah itu saya seperti linglung. Saya lari ke sana-sini mencari Shahibah yang belum saya lihat batang hidungnya di stasiun.

Padahal dia sudah ada di peron menunggu saya. Dia tertahan karena tiketnya saya pegang. Karena kereta yang akan kami naiki sudah hampir berangkat, kami diberi dispensasi dibolehkan lewat peron tanpa pemeriksaan KTP. Usai scan barcode tiket, petugas langsung memerintahkan kami lari menaiki tangga. Asliiik, rasanya sungguh ajib untuk melatih jantung. Saya harus lari naik tangga Stasiun Gambir sambil membawa ransel carrier 70 liter. "Kalo sampai ga jadi naek, duh saya harus bilang apa sama Idris dan Ahmad yang janjian dengan kami di Stasiun Cirebon..."

Sungguh tak terbayangkan, kami harus menempuh usaha lolos "masuk lobang jarum" untuk menuju kereta.

Mungkin sebelumnya kami terlalu nyantai. Karena jadwal kereta jam 21.30. Kami berangkat dari rumah jam 19.30an usai isya. Pilihannya kami naik bus Transjakarta dari Pinang Ranti ke Stasiun Cawang, dilanjut naik KRL commuterline ke Stasiun Jakarta Kota. Sayangnya kereta commuter yang kami naiki hanya sampai Stasiun Manggarai. 

Sebelum sampai Manggarai, di gerbong kami seorang ibu mengerang kejang. Dilihat dari kejangnya, ibu itu mengidap ayan. Karena ibu itu duduk dekat saya. Jadilah kami berteriak meminta pertolongan kepada petugas. Dua petugas datang, dilanjutkan pertolongan pertama dari beberapa mahasiswa yang kami minta melepas beberapa bagian baju yang mengikat ketat seperti tali bra. Panggilan untuk petugas kesehatan langsung terdengar begitu kereta memasuki Manggarai.

Di saat-saat seperti itu, saya panik. Karena melihat jam menunjukkan pukul 21.00. Sementara kereta kami di Gambir akan berangkat setengah jam lagi. Kami sempat menawar bajaj. Tapi karena terlalu mahal, akhirnya pilihannya ojek online.

Manggarai-Gambir sebetulnya tak jauh. Namun di kondisi panik akan jadi beda, karena itulah tukang bajaj menaikkan harga semaunya. Dia tahu saya sedang buru-buru. Di waktu sempit, menunggu dan menemukan ojek online agak susah. Namun, dari sisi ongkos ojek online sangat presisi karena ditentukan melalui aplikasi.

***

Kereta Cireks memasuki Stasiun Cirebon Kejaksaan sekira pukul 01.00. Di situlah kami bertemu Idris, yang ternyata baru kami tahu dia naik Kereta Cireks juga dari Gambir. Selain Idris ada juga Ahmad, teman Idris asal Yogyakarta. Berbeda dari kami, dia naik kereta dari Lempuyangan. Saat merencanakan mendaki Ciremai ini, kami membuat grup Whatsapp untuk komunikasi. Isi grupnya ya cuma berempat aja, saya dan istri saya, Shahibah. Ditambah Idris dan Ahmad.

Saya yang baru berkenalan dengan Ahmad sempat kaget melihat barang bawaannya yang begitu sedikit. Dia hanya membawa tas backpack deuter ukuran 40 liter. Idris pun sama, hanya membawa tas 40 liter dan tikar pandan. Sementara saya bawa carrier lumayan berat. Kelak di perjalanan, saya akan membagi beban saya dengan Ahmad. Karena saya kepayahan membawa dua tas depan belakang. Ahmad adalah pendaki yang sangat presisi dan sangat perhitungan dengan beban atau ultralight backpacker.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Palutungan di Kuningan, kami sempatkan melihat gerhana bulan di langit Cirebon. Saat itu, fenomena alam gerhana bulan yang langka sedang berlangsung. Saya sempat memotret bulan yang tertutup matahari dengan latar gedung tua Stasiun Cirebon. Sungguh indah dan tak terlupakan...
Gerhana bulan di atas atap Stasiun Cirebon.


Melihat penampilan, sopir-sopir mobil carteran dan taksi online tahu kami akan mendaki Ciremai. Karena itu mereka terus saja menawarkan tumpangan. Idris yang wartawan ekonomi media online terkenal segera memasang jurus menawar harga yang dipasang para sopir itu. Dia berhasil mendapat best price setelah menawar tiga orang sopir. Perjalanan Cirebon ke Palutungan kami tempuh selama sekira sejam dengan ongkos Rp200 ribu. Ongkos itu kami bagi berempat atau sharecost.

Hawa dingin pegunungan di musim kemarau langsung menyambut, menembus jaket, saat kami tiba di Palutungan. Suasana basecamp Palutungan sudah penuh oleh pendaki yang akan mendaki esok. Untungnya masih ada sedikit ruang untuk kami merebahkan badan di antara para pendaki yang lelap berimpitan seperti ikan pindang.

Idris langsung menggelar tikar pandan yang dia sebut dengan istilah sangar "tikar mayat". Rasa lelah telah menempuh perjalanan jauh mengalahkan rasa takut dan dingin. Kami pun lelap untuk beberapa jam.

***

Azan Subuh berkumandang terdengar begitu syahdu, berbeda dibanding biasanya yang saya dengar di rumah. Kantuk pun saya tepis untuk segera bergegas ke masjid menunaikan solat jamaah. Saya kehabisan stok kata-kata untuk ungkapkan bagaimana rasa air wudu di Palutungan... brrr, dinginnya sungguh nikmat membasuh jiwa yang hampa. hehehe...

Inilah salah satu "damai" yang saya cari. Rasa damai usai solat Subuh berjamaah di Palutungan. Dingin mungkin terasa di kulit, tapi hangat di hati. Damai itu, saya sudah menemukannya sebelum kami mendaki.

Di awal pagi itu, sambil terpekur melihat pemandangan jamaah solat subuh berjaket tebal, saya berucap doa untuk Indonesia, negeri yang saya cintai, agar senantiasa dilimpahi damai seperti di sini.

Buah manggis buah apel, namanya pendaki ada yang manis ada yang kucel.

Menua dan abadi bersama seperti bunga edlweiss.        

Keagungan Ciremai Dilihat dari Cirebon

Senin, Juni 18, 2018 Add Comment
Sorangan wae neng di Pelabuhan Cirebon??

Ciremai terlihat begitu agung, saat kami melihatnya sebagai siluet di ufuk barat langit Pelabuhan Cirebon. Saat di Pelabuhan Cirebon itulah, perhatian kami bukan hanya tertuju pada pemandangan sunset. Namun, pemandangan agung Ciremai di ujung langit. Semburat jingga seperti terbelah oleh lengkungan Ciremai. Dengan begitu, pemandangan sunset pun makin indah berlipat-lipat.

Dari situlah kami membayangkan, kapan ya bisa mendaki Ciremai?

Pertanyaan itu, selalu bergelayut. Terlebih kami punya tenda dan carrier baru yang tak kunjung juga dipakai sejak kami beli sekira dua bulan lalu di pameran. Rasanya ingin segera mendaki Ciremai saat itu juga.

Sore itu, saya dan Shahibah sedang menikmati liburan Lebaran. Tak ada niatan mendaki. Rencana kami hanya menginap dan vakansi kota memutari Cirebon. Dari Kraton Kasepuhan, Pelabuhan, hingga wisata kuliner makan tahu gejrot, empal gentong dan nasi jamblang.

Cepat atau lambat, takdir pasti akan menuntun kami untuk bisa mendaki dan menjelajahi Ciremai. Jika tidak saat ini, mungkin nanti. Di hari lain.

Oh ngga, ternyata berdua sama si akang...

Melipir ke Sabang, Main Bareng Ikan di Pulau Rubiah

Senin, April 30, 2018 Add Comment
Dari Sabang sampai ke hatimu...

SUNGGUH tak menyangka, kami bisa berkunjung ke Sabang. Tanpa rencana sama sekali. Hanya memanfaatkan waktu kosong semalam, menunggu jadwal penerbangan keesokan hari. Setelah mengunjungi Kota Sabang dan berkeliling Pulau Weh selama hampir 24 jam, hasilnya sungguh kurang. Kami bertekad, dan sangat berkeinginan kembali ke sana. Suatu saat.

Jadi ceritanya, kami berkunjung ke Banda Aceh untuk dua maksud. Pertama, untuk menghadiri resepsi pernihakan sepupu. Dan kedua, mengantar adik bungsu Shahibah pindahan sekolah.

Di sela agenda-agenda itu, kami menyempatkan menemui beberapa teman lama sewaktu kuliah. Salah satunya adalah Ustadz Ali Arsyad Isu, kawan saya asal Dili, Timor Leste, yang kini bermukim di Banda Aceh.

Saat berkunjung ke rumah Ali, entah darimana obrolan mengalir ke urusan jalan-jalan. Ali tahu saya dan Shahibah adalah pasangan penyuka traveling. Di sela bernostalgia kehidupan masa lalu, Ali menyarankan kami untuk mengunjungi Pulau Weh, Sabang.

"Mumpung lagi di Aceh, coba main ke Pulau Weh," ujar Ali.

"Wah ide bagus tuh," ujar saya.

"Tapi jadwal pesawat balik kami besok sore," ujar Shahibah.

Dilema itu pun terpecahkan setelah Ali memberi rekomendasi seseorang yang akan memandu dan mengantar-jemput kami selama di Sabang. Ohya, biar jelas Sabang itu nama kota pusat pemerintahan yang terletak di Pulau Weh. Selain Pulau Weh, ada beberapa pulau lainnya, seperti Pulau Rubiah yang juga masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kota Sabang.

Kami cek jadwal kapal menuju Sabang, setiap hari hanya ada dua penyeberangan. Untuk sore itu masih bisa kami jangkau.

Siang itu pun kami segera meluncur ke Pelabuhan Ulee Lheue dengan taksi online. Kami hanya bawa baju seperlunya untuk dibawa ke Sabang. Sebagian besar isi koper, kami tinggal di hotel yang kami inapi di Ulee Kareeng.

Usai membeli tiket di pelabuhan, ternyata kapal datang sedikit terlambat dari yang dijadwalkan. Kami masih sempat foto-foto di dermaga pelabuhan kecil itu.

Perjalanan ke Sabang menempuh waktu sekira dua jam. Di atas kapal ada hiburan televisi dan tukang asongan tak henti menawarkan jajanan dari kacang rebus hingga nasi bungkus. Naik kapal dijamin tak akan bete dan kelaparan. Shahibah memilih tidur, sementara saya naik ke geladak merasakan hembusan angin laut.

Kami tiba di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh sekira pukul 16.00. Pemandu kami, Bang Ade Abdullah, sudah menunggu di bibir pelabuhan. Dia mengenakan jersey Real Madrid, yang sangat cocok dengan perawakannya tinggi, berotot dan perut rata.

Tepat seperti dugaan saya, Bang Ade itu adalah seorang atlet sepak bola.

"Dulu Abang pernah main di Persiraja, tapi sekarang Abang cukup jadi wasit saja," ujar dia.

Di sela waktunya sebagai wasit profesional di Liga 2 itulah, Bang Ade menjadi pemandu wisata. Ade punya dua mobil yang dia gunakan untuk mengantar jemput turis. Tingginya minat turis ke Sabang, membuat bisnis rental mobilnya cukup maju.

"Sore ini mau ke mana dulu Irvan?"

"Terserah Abang, atur aja. Kami punya waktu sampai besok siang."

Mobil Avanza diarahkan Ade keluar pelabuhan dan lagsung menuju ujung Pulau Weh, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia atau titik paling barat negara ini. Titik itulah yang menjadi penanda bagi lirik lagu "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau..."

Berjejer pulau-pulau di Sabang. Selain Pulau Weh yang paling besar, ada empat pulau lainnya.
Mobil Bang Ade berhenti di sebuah persimpangan, pemandangan sore di sana sungguh keren. Bang Ade memotret kami berdua. Perjalanan berlanjut, mobil berhenti lagi di taman Kota Sabang. Kami pun berfoto lagi di landmark tulisan "I Love Sabang".

Kami tiba di titik Nol Kilometer sekira jam 17.30. Jika di Jawa jam segitu mungkin langit sudah mulai gelap dan masuk maghrib, tapi di Sabang langit masih terlihat terang.

Kami punya cukup waktu untuk menunggu sunset di ujung paling barat Indonesia sambil main di hutan dan berfoto di tugu Nol Kilometer.

Pemandangan sunset sore itu tidak terlalu baik karena mendung, namun kami bersyukur bisa menyaksikan matahari terbenam di ufuk paling barat Indonesia.

Alhamdulillah bisa lihat pemandangan sunset di ufuk paling barat Indonesia, Tugu Kilometer Nol Sabang.

Sunset usai. Langit mulai menggelap. Perjalanan kami berlanjut menuju Iboih, sebuah perkampungan pinggir pantai. Menurut Bang Ade, di sana ada temannya yang memiliki penginapan dengan harga murah.

Iboih adalah sebuah desa berbukit-bukit yang langsung berhadapan dengan pantai. Di sana banyak sekali resort dan penginapan yang dikelola masyarakat. Belum ada hotel berbintang di sini.

Sebelum masuk ke penginapan, resepsionis menanyakan buku nikah kami.

"Maaf buku nikah ngga kami bawa, tapi bisa cek KTP kami. Alamat rumah kami sama, yang artinya kami tinggal serumah," ujar saya.

Maaf saya pun dibalas maaf oleh penerima tamu.

"Iya kak. Kami percaya kakak suami-sistri. Maaf juga kak, bukan kami curiga. Tapi lebih baik kami tidak dapat tamu yang berzinah daripada kami nanggung dosa."

Sungguh bijak. Seandainya semua pebisnis hotel di Indonesia berpikir seperti itu.

Kami makan malam di sebuah warung, lalu tidur nyenyak di kamar tanpa AC dengan tarif Rp150 ribu. Sementara Bang Ade pulang ke rumahnya.

***

Lepas solat Subuh, saya menyempatkan lari pagi mengelilingi Iboih. Jalannya menanjak ke bukit hingga melewati sebuah makam keramat. Di Sabang, memang banyak makam yang dikeramatkan dan sering diziarahi kalangan Muslim tradisionalis.

Pagi itu, Bang Ade sudah stand by di depan penginapan kami. Dia mengurus agenda kami berikutnya, yaitu snorkling di Pulau Rubiah.

Saat hendak pergi ke tempat penyewaan alat-alat snorkling saya sempat meminjam motor resepsionis penginapan. "Itu motornya bang. Kuncinya ada di motor," ujar dia. "Nanti kuncinya jangan dicabut ya bang."

Perkataannya yang terakhir itulah yang sempat membuat heran.

Ketika sampai di tempat penyewaan alat snorkling, terjawablah keheranan saya. Di parkiran, semua konci motor dibiarkan terpasang begitu saja tanpa dicopot. Ternyata di Pulau Weh, semua pemilik motor memarkir kendaraannya tanpa pernah melepas kunci. Luar biasa, mereka tak khawatir motornya bakal hilang dicuri. Mereka sungguh yakin daerahnya adalah tempat yang aman, bebas dari kejahatan.

Sementara kami pergi snorkling di Pulau Rubiah, Bang Ade menunggu di penginapan.

Kami berdua di Pantai Iboih, pagi sebelum nyebur snorkling.


Jarak antara Pantai Iboih ke Pulau Rubiah sebetulnya tak jauh. Mungkin tak lebih dari 1km. Kalo Anda ahli, berenang pun bisa tak perlu menyewa perahu. Pasalnya sewa perahu cukup mahal. Untuk sewa selama dua jam sekira Rp200 ribu. Jadi, Anda tinggal sewa alat snorkling dan fins saja.

Air laut di selat antara Iboih dan Rubiah pun sungguh jernih. Dari atas perahu, saya bisa melihat ikan warna-warni berlarian.

Snorkling nyari Spongebob di pantai Pulau Rubiah.


Pulau Rubiah bisa dibilang surganya snorkling. Belum pernah sebelumnya saya berenang diikuti ikan dengan warna-warna yang cantik sebanyak itu. Ya iyyalah, pengalaman snorklingnya juga cuma di Kepulauan Seribu sama di Tanjung Bira, Sulawesi Selatan aja.

***

Terlalu asyik snorkling, jadwal yang sudah diatur Bang Ade jadi molor. Seharunya kami sudah beres jam 10, supaya masih sempat melawat ke beberapa destinasi menarik lainnya di Sabang. Jam 11 kami baru selesai mandi dan sarapan. Bang Ade agak panik karena sudah kadung janji mengajak kami melihat beberapa tempat lagi.

Avanza yang dikemudikan Bang Ade melaju kencang meninggalkan Iboih. Tujuan kami selanjutnya adalah Goa Sarang.

Jalanan penuh kelok dan menanjak dilahap kemudi Bang Ade. Dari pembawaannya, dia sangat  hafal medan. Mirip pembalap rally yang tak memerlukan navigator. Saya yang duduk di depan, hanya tercengang menyaksikan Bang Ade menyopir.

Jantung saya yang tadi sempat deg-degan, bisa sedikit rileks setelah kami tiba di Goa Sarang.

Bang Ade mengajak kami ke naik menara dan naik ayunan untuk diambil foto. Dia langsung mengaturkan gaya kami. Untuk bisa foto-foto di spot Goa Sarang itu, turis dipungut bayaran Rp5 ribu. Cukup murah jika dibanding hasil foto dengan background pemandangan pantai berair kebiuran dan barisan bukit Goa Sarang dengan pohon yang lebat.
Main ayunan di Goa Sarang, Sabang.

Tak banyak waktu kami habiskan di Goa Sarang. Ke bibir goanya saja kami tak sempat. Harusnya kalo mau puas, alokasikan waktu sehari di tempat ini. Sementara Bang Ade sudah memberi aba-aba lagi. Dia masih punya tempat untuk ditunjukkan kepada kami.

Tempat berikutnya itu cukup indah. Sebuah pantai berpasir putih. Tapi tidak terkelola dengan baik, jadinya tidak terlalu mengesankan buat kami. Saya saja sampai lupa nama pantainya.

***

Muhibah kami di Sabang berakhir dengan cuaca hujan. Tapi sebelum hujan, kami masih sempat ambil foto di taman Pulau Weh dan membeli kue pia Sabang yang sangat mirip dengan bakpia pathok Jogja.

Kami berpisah dengan Bang Ade di gerbang Pelabuhan Balohan. Ada rasa haru yang saya rasakan saat kami hendak berpisah. Perjalanan bersama Bang Ade selama hampir 24 jam sungguh mengesankan. Kami sungguh beruntung mendapat pemandu baik seperti dia. Orangnya supel dan hangat, seperti teman yang sudah kenal lama.

Bang Ade, Shahibah, dan saya. Kami seperti teman lama, padahal baru kenal.
Kami membayar Rp500 ribu untuk rental mobil selama 24 jam. Harga yang terbilang murah, untuk layanan prima yang diberikan Bang Ade, dari sejak menjemput hingga mengantar pulang.

Saat kami sudah membeli tiket, Bang Ade menelpon saya. Dia bilang ada barang saya yang tertinggal. Saya kaget, dan mencari-cari barang apa yang tertinggal.

Ternyata, itu adalah kejutan. Bang Ade menelpon seperti itu, hanya untuk memberikan sebuah bungkusan oleh-oleh untuk kami. Dia membelinya dari menyisihkan uang rental ang kami bayarkan.

"Sudah murah, masih juga diberi bonus oleh-oleh. Terima kasih Bang Ade," ujar saya tak enak hati. Setelah itu kami pun berpisah.

Bagi Anda yang ingin ke Sabang dan butuh guide, bisa kontak Bang Ade Abdullah. Untuk urusan rental mobil dan guide berkeliling Sabang, Bang Ade bisa dihubungi di +62 852 6039 2929.

Ke Aceh, Tak Lengkap Tanpa Menyantap Ayam Tangkap

Sabtu, Maret 10, 2018 Add Comment
Ayam tangkap, nasi dan beberapa jenis sambel. Maknyusss...
Di Banda Aceh sendiri, ayam tangkap bukanlah makanan yang gampang ditemui. Tidak setiap warung makan punya menu unik ini. Beda hal dengan kopi dan mie. Hampir semua kedai, selalu menyediakan dua menu khas itu.

Jika di Aceh saja terbilang langka, apalagi di luar daerah. Karena itu, saat kunjung ke Banda Aceh, saya minta seorang kawan lama menuntun kami ke tempat makan ayam tangkap.

Saat saya memasang status whatsapp bahwa sedang di Banda Aceh, Eva, seorang kawan lama mengajak bertemu. Terakhir ketemu, waktu dia menikah di Bekasi. Dia bekerja di PKBI dan menikah dengan orang Aceh, hingga akhirnya beranak pinak di sana.

"Ayok ketemu, gw traktir ayam tangkap deh.." Ujar Eva.

"Wah, serius nih?" balas saya kegirangan.

Siang itu, kami pun bertemu. Saya ajak Shahibah dan adeknya, Alia. Sekedar disclaimer, saya bawa dua orang lainnya bukan karena aji mumpung karena mau ditraktir loh. Saya berharap itu cuma basa-basi Eva sebagai tuan rumah, jadinya ya meski bawa dua orang saya akan bayar acara makan siang kami nanti.

Eva mengajak kita bertemu di Warung Hasan 3, di Jalan Prof Hasyimi. 

Kami bertiga datang dengan taksi online, sementara Eva naik sepeda motor. Saat kami datang, suasana sudah tak begitu ramai. Jam makan siang sudah lewat, hanya sisa satu meja yang dipakai sekelompok karyawan sebuah kantor swasta. Mereka pun sudah hendak menutup acara makan-makan dengan foto selfie bareng di meja makan.

Menurut Eva, Warung Hasan terbilang sangat laris dan hanya buka pagi hingga jelang petang, saat hidangan di dapur mereka habis. Pantesan malam sebelumnya, kami coba cari Warung Hasan ini sudah tutup. Waktu itu kami sempat ditipu tukang becak motor yang berjanji mengajak kami ke warung makan ayam tangkap. Dia sudah tahu warungnya tutup, tapi tetap mengajak kami berkeliling. Setelah berkeliling dan tak membuahkan hasil, dia baru menjelaskan bahwa Warung Hasan sudah tutup sejak sore. Untuk informasi basi itu dia meminta bayaran karena telah mengajak kami muter-muter ga jelas. Parah...🙈

Sambil menunggu Eva memesan, saya berkeliling restoran melihat suasana. Di belakang Warung Hasan terdapat sungai yang terbilang besar. Angin sepoi bertiup dari sana. Berdesir, bikin ngantuk...

Ohya, cara makan di Warung Hasan ini mirip dengan di restoran padang Sederhana. Semua jenis hidangan di sajikan di atas meja. Kita tinggal comot, lalu bayar yang dimakan. Kecuali ayam tangkap yang digoreng dadakan anget-anget (tahu bulat keleesss 😓), semua hidangan sudah tersedia sebelumnya. Sambal yang disajikan ada beberapa jenis.

Sasaran utama kami tentu saja ayam tangkap, bukan yang lainnya. Sementara minuman kami pilih jus timun yang segar. Paduan yang selalu sempurna untuk makanan khas Aceh yang berkari.

Ini bukan ayam tangkap pertama yang saya cicipi, sebelumnya waktu saya ke Meulaboh pernah mencicipi hidangan ini di Rumah Makan Aceh Rayeuk. Memang ayam tangkap bikin ketagihan. Selama di Meulaboh itu saya hampir tiap hari makan ayam tangkap sebagai lauk. Apalagi saat itu ditraktir oleh Astra, untuk pengerjaan sebuah proyek penulisan.

Menyantap ayam tangkap sudah jadi bagian dari budaya masyarakat Aceh. Sebetulnya, ayam ini adalah ayam goreng biasa. Cara menggorengnya juga tidaklah sulit. Cukup diberi bumbu agar gurih seperti bawang putih, lada, kemiri, garam, dan jahe. Setelah dibumbui, ayam lalu digoreng sekitar 5–10 menit.
Daun yang ikut digoreng itu krispi banget. Kulit ayam KFC mah lewat cuy... 
Saat ayam berada dalam minyak, segenggam dedaunan ikut digoreng bersamaan. sehingga rasa rempah dedaunan turut meresap ke dalam daging ayam. Daun yang digunakan, di antaranya daun kari, potongan daun pandan, dan salam koja. Dedaunan itu pula yang kemudian menutupi sajian ayam tangkap pada setangkup piring. Daun-daun itu sungguh gurih, rasanya endess banget. Kulit ayam crispy ayam KFC lewat cuyyyy... 😋

Konon, dedaunan yang digoreng bersamaan ayam tangkap hanya tumbuh di Aceh. Jadi, kalo mau membuat ayam tangkap harus mengimpornya dari "Tanah Rencong".

Saya dan Shahibah makan begitu lahap. Alia yang memiliki darah Aceh dari bapaknya, ternyata baru mencicipi ayam tangkap. Dia pun sangat suka.

Siang itu, dua piring ayam tangkap ludes kami santap. Selain menjadi lauk menemani nasi, beberapa potong kami gado bersama daun-daunnya.

Saat kami lahap makan itulah Eva melipir ke kasir. Dia membereskan tagihan makan siang kami berempat.

"Sudah dibayar ibu itu pak," ujar kasir menunjuk Eva, ketika saya merogoh kantong. Ternyata dia memang serius menraktir kami. Ajakan dia, bukan cuma basa-basi belaka.

Makan siang yang enak, ditraktir pula. Jadinya saya cuma bisa bilang makasih. Terima kasih Eva, sering-sering ya... hahahaha 😂😁

Eva dan Shahibah berpose di depan Warung Hasan sebelum kami berpisah.