SEDERHANA dan Miskin. Keduanya adalah hal berbeda. Tapi kadang kita melihatnya seperti sama. Di situ yang kadang saya merasa sedih. Saya mendapat pelajaran tentang tipisnya perbedaan sederhana dan miskin itu saat mengunjungi Pondok Pesantren Kesuren, Serang, Banten, dua hari lalu.
Yang mengajak adalah sahabat saya, Ismatillah. Saya sungguh kagum dengan gaya hidup para santri di pesantren ini. Asrama atau kobong tempat mereka tinggal hanyalah rumah panggung berdinding bilik bambu non permanen.
Siang itu, saya lihat para santri tengah bergotong royong untuk melapisi bilik bambu sebagian kamar dengan kertas. Kamar bilik bambu berukuran 1 x 2 meter yang terbilang sederhana itu adalah tempat pemondokan santri.
Ada sekitar sepuluh kamar di pesantren itu. Jika tak dilapisi kertas, angin malam pasti akan mudah menyusup. Laku sederhana itu sepertinya memang disengaja. Pendiri sekaligus pimpinan pondok Ustadz Agus Rahmat mengatakan pada saya bahwa kesederhanaan adalah inti dari kurikulum Kesuren. Pesantren ini didirikan pada 2013 lalu, sengaja bercorak kobong atau pesantren tradisional (salafiyah).
“Mereka sudah hidup perih dengan tinggal di kamar bilik bambu, jadi akan sangat rugi bagi santri di sini jika mereka tidak belajar dengan sungguh-sungguh.”
"Jadi kalo santri pesantren yang asramanya bagus tidak hapal kitab, saya rasa wajar. Tapi kalo santri di pesantren ini masih tidak hapal juga, pasti ruginya dua kali lipat," ujar Agus.
Di situ kadang saya merasa tertampar. Dulu ketika saya mondok belasan tahun lalu, rasanya sudah sangat mewah. Tinggal di asrama dengan bangunan permanen dan berbagai kemudahan lain seperti makan di dapur umum yang disediakan juru masak.
Di Kesuren, untuk makan santri harus memasak sendiri. Hampir setiap hari, mereka memasak nasi liwet dan makan bersama di atas nampan secara bancakan.Sungguh klasik. Meski tinggal di gubuk, menurut Agus, dia kerap mendengar santrinya tertawa terbahak.
Mereka seakan lupa pada kondisi pondok mereka tinggal. “Saya setiap hari mendengar mereka tertawa. Berarti mereka tidak hidup menderita. Justru sebaliknya, mereka hidup senang,” tegas Agus.
Uniknya, Agus bercerita, ada seorang pengusaha di Serang yang dilanda penyakit insomnia. Dia kerap kesulitan memejamkan mata, meski tinggal di rumah mewah dan sering menginap di hotel mewah. "Saat saya ajak ke sini, kami pun ngobrol sebentar. Dia kemudian berbaring di pondokan, dan langsung tertidur lelap,” ujar Agus berseloroh.
Kehidupan sederhana ala Kesuren itu memang merujuk pada kehidupan kaum sufi (wara' dan zuhud). Di era sekarang, kita bisa menjumpai laku sederhana itu seperti yang dilakukan bekas Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dan Presiden Uruguay Jose Mujica.
Saat masih menjadi presiden,, Ahmadinejad kerap ditemui mengenakan pakaian apa adanya seperti rakyat kebanyakan. Bahkan setelah tidak lagi menjabat presiden, Ahmadinejad kembali menggunakan bus untuk berangkat mengajar ke kampus.
Kehidupan Jose Mujica di Uruguay juga sungguh luar biasa. Meski dia presiden, dia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana, mengendarai mobil VW kodok, dan bertani. Sebagai presiden, dia memiliki gaji 20 ribu dollar, namun 80 persennya dia sumbangkan. Sehingga dia akan seperti penduduk Uruguay kebanyakan.
Di negeri kita, sudah lama rakyat merindukan pemimpin sederhana seperti itu. Sehingga ketika, ada orang yang memperlihatkan dirinya sangat sederhana dan mau dekat dengan rakyat dengan blusukan, kita pun memilihnya menjadi presiden. Pada taraf ini, kita hanya senang pada orang yang melakukan gaya hidup sederhana, sehingga memilihnya.
Namun sayangnya kadang kita lupa, apakah kita sudah berbuat hal serupa.
Catatan ini dimuat di Harian Nasional, Jumat (27/2).
Yang mengajak adalah sahabat saya, Ismatillah. Saya sungguh kagum dengan gaya hidup para santri di pesantren ini. Asrama atau kobong tempat mereka tinggal hanyalah rumah panggung berdinding bilik bambu non permanen.
Siang itu, saya lihat para santri tengah bergotong royong untuk melapisi bilik bambu sebagian kamar dengan kertas. Kamar bilik bambu berukuran 1 x 2 meter yang terbilang sederhana itu adalah tempat pemondokan santri.
Ada sekitar sepuluh kamar di pesantren itu. Jika tak dilapisi kertas, angin malam pasti akan mudah menyusup. Laku sederhana itu sepertinya memang disengaja. Pendiri sekaligus pimpinan pondok Ustadz Agus Rahmat mengatakan pada saya bahwa kesederhanaan adalah inti dari kurikulum Kesuren. Pesantren ini didirikan pada 2013 lalu, sengaja bercorak kobong atau pesantren tradisional (salafiyah).
“Mereka sudah hidup perih dengan tinggal di kamar bilik bambu, jadi akan sangat rugi bagi santri di sini jika mereka tidak belajar dengan sungguh-sungguh.”
"Jadi kalo santri pesantren yang asramanya bagus tidak hapal kitab, saya rasa wajar. Tapi kalo santri di pesantren ini masih tidak hapal juga, pasti ruginya dua kali lipat," ujar Agus.
Di situ kadang saya merasa tertampar. Dulu ketika saya mondok belasan tahun lalu, rasanya sudah sangat mewah. Tinggal di asrama dengan bangunan permanen dan berbagai kemudahan lain seperti makan di dapur umum yang disediakan juru masak.
Di Kesuren, untuk makan santri harus memasak sendiri. Hampir setiap hari, mereka memasak nasi liwet dan makan bersama di atas nampan secara bancakan.Sungguh klasik. Meski tinggal di gubuk, menurut Agus, dia kerap mendengar santrinya tertawa terbahak.
Mereka seakan lupa pada kondisi pondok mereka tinggal. “Saya setiap hari mendengar mereka tertawa. Berarti mereka tidak hidup menderita. Justru sebaliknya, mereka hidup senang,” tegas Agus.
Uniknya, Agus bercerita, ada seorang pengusaha di Serang yang dilanda penyakit insomnia. Dia kerap kesulitan memejamkan mata, meski tinggal di rumah mewah dan sering menginap di hotel mewah. "Saat saya ajak ke sini, kami pun ngobrol sebentar. Dia kemudian berbaring di pondokan, dan langsung tertidur lelap,” ujar Agus berseloroh.
Kehidupan sederhana ala Kesuren itu memang merujuk pada kehidupan kaum sufi (wara' dan zuhud). Di era sekarang, kita bisa menjumpai laku sederhana itu seperti yang dilakukan bekas Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dan Presiden Uruguay Jose Mujica.
Saat masih menjadi presiden,, Ahmadinejad kerap ditemui mengenakan pakaian apa adanya seperti rakyat kebanyakan. Bahkan setelah tidak lagi menjabat presiden, Ahmadinejad kembali menggunakan bus untuk berangkat mengajar ke kampus.
Kehidupan Jose Mujica di Uruguay juga sungguh luar biasa. Meski dia presiden, dia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana, mengendarai mobil VW kodok, dan bertani. Sebagai presiden, dia memiliki gaji 20 ribu dollar, namun 80 persennya dia sumbangkan. Sehingga dia akan seperti penduduk Uruguay kebanyakan.
Di negeri kita, sudah lama rakyat merindukan pemimpin sederhana seperti itu. Sehingga ketika, ada orang yang memperlihatkan dirinya sangat sederhana dan mau dekat dengan rakyat dengan blusukan, kita pun memilihnya menjadi presiden. Pada taraf ini, kita hanya senang pada orang yang melakukan gaya hidup sederhana, sehingga memilihnya.
Namun sayangnya kadang kita lupa, apakah kita sudah berbuat hal serupa.
Catatan ini dimuat di Harian Nasional, Jumat (27/2).