Makan2

Ngopi2

Beli2

Recent Posts

Deru Debu Kemarau di Gunung Prau

Minggu, September 30, 2018 Add Comment
Prau memang berdebu... Tapi syeruu.
Masih inget Debu? Kalo Anda merasakan masa remaja di dekade 2000an pasti inget sama grup band yang anggotanya ekspatriat, tapi menyanyikan lagu kasidahan. Biasanya mereka banyak ditanggap saat Bulan Puasa. Nah, hubungannya sama artikel ini apa? Ngga ada.😜😝

Yang mau saya bahas debu dalam arti kata sebenernya. Butiran debu, seperti disebut sebuah lagu melow. Hadeeeuh, lagi-lagi malah nyerocos ke lagu.

Musim kemarau, debu sangat mudah berterbangan di Gunung Prau. Jika Anda mau mendaki gunung ini harus siap membawa masker dan kacamata. Kalo tidak alamat Anda kesulitan bernafas dan melihat.

Tema debu dan antisipasinya saya garis bawahi di postingan ini. Pasalnya, ada seorang teman yang lupa bawa masker dan kacamata, jadinya dia memaki-maki perjalanan. Padahal namanya naik gunung Anda harus siap di setiap medan dan kondisi. Terlebih, Gunung Prau ini adalah gunung yang memiliki popularitas bak artis papan atas.

Saking terkenalnya gunung di Dataran Tinggi Dieng ini, setiap hari jadi tujuan ribuan pendaki. Di hari biasa aja rame, apalagi akhir pekan. Kalo dulu orang bilang ke gunung mau menyepi, maka Prau bukanlah tempatnya. Saking ramenya, perjalanan naik ke dan turun dari puncak pun harus antre. Kemacetan lalu lalang orang betul-betul terjadi, mirip dengan macetnya mobil di jalanan Jakarta. Akibatnya di puncak Prau dan Bukit Teletubies orang bikin tenda harus berdempetan, mirip parkiran mobil di basement mall.

Macet di jalur pendakian Gunung Prau. Udah macet bawa carrier berat banget. Hadeehh...
Mungkin ke depannya untuk mengantisipasi kemacetan perlu diberkalukan sistem ganjil-genap untuk naik gunung ini. Bisa juga pake sistem buka-tutup jalur seperti di Cisarua, Puncak. Atau bisa juga minta bikinin jalan tol ke Jokowi. 😜😂

Kenapa sih Prau begitu popular?

Terlepas dari masalah debu, Prau memang sangat memukau. Pemandangan di puncak gunung ini suunggguh indah. Banyak orang yang sudah naik ke gunung ini berkali-kali, tapi tidak merasa bosan. Yang saya temui, ada orang yang sudah enam kali naik ke gunung ini. Dan dia masih belum bosan.

Selain menyajikan pemandangan indah, Prau juga terbilang relatif mudah didaki. Perjalanan dari basecamp Patak Banteng hingga puncak hanya memerlukan waktu sekira 2,5 jam. Durasi itu juga sudah termasuk istirahat dan becanda. Bahkan kalo mau lebih singkat lagi, Anda bisa naek ojek dari basecamp ke Pos 1 dengan ongkos Rp25 ribu.

Ramenyaaaa. Kalo buka warung kopi pasti laku nih.. Tapi alhamdulillah, pengelola Gunung Prau cukup waras, membatasi warung hanya sampai Pos 2. Setelah masuk hutan, ngga ada lagi orang jualan.
Loh kok tau tarif ongkos ojeknya? Yaiyyalah, saya juga naik ojek waktu naik dan turun dari Pos 1. Enak toh? Saya sama sekali tak merasakan lelahnya mendaki jalan makadam dari basecamp ke Pos 1.

Pendeknya durasi pendakian, membuat gunung ini sangat direkomendasikan bagi para pendaki pemula atau yang sering disebut pendaki 5cm. Lebih singkatnya, Prau itu tak terlalu menguras fisik tapi menyajikan pemandangan indah banget.

Ga perlu kerja keras tapi gaji dan bonus gede, begitu analoginya. Selain Prau, ada juga Gunung Andong di Magelang yang kondisinya mirip. Sangat direkomendasikan untuk orang yang baru memulai hobi hiking.

Ada apa sih di puncak Prau? Saya hanya bisa menggambarkan singkat dengan empat kata: Sindoro, Sumbing, Sabana, dan bunga daisy. Selebihnya biarkan foto bicara. 👇👇👇

Foto keluarga cemara, ibu, bapak, dan anak dua dengan latar Gunug Sindoro-Sumbing.

Anak-anak maen dulu ya, bapak sama ibu mau futu-futu...

Lima "Permata" Wisata Dieng yang Bikin Kami Tersepona

Minggu, September 30, 2018 Add Comment
Keliling Dieng enaknya naik motor. Alagi motor pinjeman...
Mengunjungi Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, ada banyak pilihan tempat wisata. Tak cukup satu hari untuk menjelajahi semuanya. Dieng itu seperti tak habis-habis untuk diekplorasi. Selalu saja ada yang baru untuk dijelajahi. Semuanya membuat kami tersepona, eh terpesona. Hahaha... Jayus.😅

Namun jika waktu Anda terbatas dan tak mau berlama-lama, setidaknya ada lima tempat yang menurut saya bisa Anda kunjungi di Dieng. Setidaknya ini bisa Anda jadikan patokan, buat yang baru pertama kali berkunjung ke Dieng.

Sebagai catatan, untuk lebih menghemat waktu, sebaiknya Anda naik motor. Tapi bagi Anda yang membawa mobil pribadi tak masalah. Hanya saja, mungkin Anda akan agak sedikit lambat karena lalu lintas Dieng itu mirip dengan Puncak di Bogor, atau di Ciwidey, Jawa Barat. Menanjak dan sering macet.

Berikut ini, lima tempat di Dieng yang kami sambangi. Bak permata, tempat-tempat wisata itu akan semakin dipulas, maka akan semakin berkilau. Untuk empat tempat pertama, kami hanya menghabiskan waktu tak lebih dari empat jam, dari jam enam hingga jam 10.

1. Kawah Sikidang

Idris ngiler pengen sauna di Kawah Sikidang.
Kawah Sikidang adalah tempat pertama yang kami datangi. Ini karena petunjuk jalan menuju tempat ini begitu mudah ditemukan. Sebetulnya ada banyak kawah di Dataran Tinggi Dieng, tapi tak semuanya aman untuk dikunjungi. Kawah-kawah itu bahkan ada yang mengeluarkan gas beracun. Salah satu yang aman adalah Kawah Sikidang. 

Kawah Sikidang ini adalah kawah gunung berapi aktif yang mendidih bergejolak setiap saat. Ukuran kawahnya tak besar, hanya seukuran empang sekira 100 meter persegi.

Di kawah ini, pengunjung bisa puas berfoto. Ada banyak spot berfoto yang dikelola secara sporadis. Jadinya, spot foto itu bukan memperindah malah membuat kawasan sekitar kawah agak kumuh dan berantakan. Yang membuat miris saya, adanya lapak spot selfie yang menyediakan burung hantu untuk teman foto pengunjung. Saya tak tega melihat burung hantu yang ngantuk, karena mereka makhluk nokturnal yang butuh tidur di siang hari, malah dipaksa kerja.

di Kawah ini, pengunjung bisa membeli telur rebus di Kawah. Entah, apa bedanya telur di rebus dengan biasa dibanding dengan yang direbus air kawah mengandung belerang? Kalo ada yang tahu khasiatnya telur rebus kawah ini, silakan komen..

Greget banget. Rebus telor di kompor udah mainstream. Ini mah rebus telor di kawah bau belerang..

Melihat aktifnya kawah Sikidang, seharusnya ada pemandian air panas di sekitar situ. Sayangnya hingga keluar kawasan itu, saya tidak menemukannya. Padahal kalo ada pemandian air panas, mungkin tempat ini lebih seru.

2. Telaga Warna

Pose ala-ala anak band di Telaga Warna yang mengering. Rafieq, Idris, Shahibah, dan saya. 

Konon, warna air di telaga ini bisa berubah-ubah kuning, biru, dan hijau. Saat kami ke sana air telaga hanya tampak warna hijau. Kenapa bisa berubah warna, karena air telaga ini mengandung sulfur. Fenomena alam ini mirip dengan yang ada di Segara Anak di Gunung Rinjani.

Tak ada waktu untuk menunggui telaga itu berubah-ubah warna, karena perubahan warnanya tidak setiap lima menit. Lebih baik jalan kaki berkeliling telaga ini. Jalan setapakanya rapih dan bersih. Toilet juga tersedia cukup bersih.

Karena air telaga sedikit mengering, kami berempat saya, Shahibah, Idris, dan Rafieq bisa berfoto hingga ke tengah. Hasil fotonya keren, tak perlu spot foto selfie seperti di Kawah Sikidang sebelumnya. Aktivitas orang yang ke sini kebanyakan hanya berfoto di pinggir telaga, lalu gelar tiker dan buka bekal.

3. Batu Ratapan Angin

Telaga Warna lebih indah dari atas sini. Seandainya datang ke sini lebih pagi, pasti lebih indah... Hiks, akhirnya hanya bisa meratap bersama angin di Batu Ratapan Angin.

Pemandangan Telaga Warna bisa dilihat dari atas bukit. Nama tempatnya Batu Ratapan Angin.
Sayangnya, pengelola dua tempat itu berbeda. Jadi, jika ingin ke Batu Ratapan Angin harus keluar dulu dari Telaga Warna.

Kalo naik motor, Anda hanya perlu ngegas menanjak sekira 2km dari pintu masuk Telaga Warna. Parkirkan motor dekat Museum Dieng Plaeteu, lalu berjalan ke celah sempit perbukitan. Di sana loket pengunjung diminta bayaran.

Setelah loket, terus naik ke puncak bukit. Dari titik puncak itulah kita akan melihat pemandangan Dieng dengan semua sudutnya. Telaga Warna, dan satu lagi Telaga Pengilon persis berada di bawah titik pandang bukit Batu Ratapan angin itu.

Waktu kami di sana, antrean untuk berfoto di puncak bukit lumayan banyak. Harus cukup sabar menunggu orang berfoto dengan berganti-ganti gaya.

Karena saya tak mau bete menunggu, saya pun mengambil peran menjadi juru foto dadakan di sana. Saya arahkan orang-orang yang berfoto biar mereka cepat selesai. Seorang cewek sempat ngambek, karena dia ga puas difotoin. Hahaha...😂

4. Candi Arjuna 

Susah banget mau dapa foto bagus, karena rame terus.

Kami datang ke kawasan kompleks Candi Arjuna ketika matahari sudah hampir setinggi galah. Karena Dieng berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl), jadinya cuaca panas pun tak terasa. Rasanya masih dingin seperti pagi, bahkan tengah hari itu kami masih pakai jaket.

Pada posisi ketinggian seperti itu, matahari lebih dekat. Jadinya lebih panas dan membakar kulit. Tapi karena suhu rendah, panas itu tak terasa. Saat itu kami tak memakai tabir surya, akibatnya terasa saat kami sudah balik. Bibir pecah-pecah dan kulit wajah terasa terbakar. Parah dah...

Mengenai Candi Arjuna sendiri, adalah kawasan bersejarah dan ikonik di Dieng. Setiap Agustus, kawasan ini menjadi magnet karena jadi tempat digelarnya Dieng Cultural Festival (DCF). Ketika kami ke sana, DCF sudah selesai digelar. Dan memang sengaja kami melewatkannya karena saat pelaksanaan DCF, kawasan Dieng super macet.

Peninggalan peradaban Hindu ini, meski berdekatan dengan tiga lokasi sebelumnya, tidak termasuk ke Kabupaten Wonosobo melainkan Kabupaten Banjarnegara. Ya memang Dataran Tinggi Dieng sendiri ada dalam tiga kabupaten, yakni Wonosobo, Banjarnegara, dan Batang.

Arjuna menemukan cinta di Candi Arjuna.


Seperti umumnya candi-candi di Dieng, masyarakat memberikan nama tokoh pewayangan Mahabarata sebagai nama candi. Jadi, di kompleks ini juga terdapat Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra.

Namun yang paling terkenal Candi Arjuna, terletak paling utara dari deretan percandian di kompleks tersebut. Sementara Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling berhadapan.

Meski Anda bukan turis yang serius mengulik sejarah dan antropologi, di kawasan Candi Arjuna ini sebetulnya banyak bisa dieksplorasi. Tapi kebanyakan turis ke sini buat ambil foto, terus baca keterangan sejarah sedikit, dan jajan di warung.

5. Gunung Prau


Mengenai Gunung Prau, mari kita bahas di postingan berikutnya ya...

Sunrise moment di Gunung Prau. Selalu bikin kangen pengen ke sana lagi.

Beban Ganda Lelaki, Jadi Porter Demi Istri

Kamis, September 27, 2018 Add Comment
Demi nyai, akang rela jadi porter...

Dalam kehidupan nyata rumah tangga, secara sosiologis perempuan karier selalu disebut memiliki beban ganda. Mereka harus memikul dua beban sebagai pekerja dan mengurus rumah tangga.

Teori beban ganda itu ada untuk menyadarkan pria bahwa perempuan seharusnya tidak memikul beban melebihi kemampuannya. Harusnya seperti kata pepatah, "ringan sama dijinjing, berat sama dipikul."

Gotong royong dalam kehidupan rumah tangga adalah hal yang musykil. Lelaki tak usah canggung membantu pekerjaan domestik seperti mencuci piring, karena perempuan pun banyak yang pintar cari duit untuk tambah-tambah uang dapur biar terus ngebul.

Nah, dalam dunia hiking. Kadang beban ganda terpaksa harus dipikul lelaki. Double carrier, alias membawa dua tas ransel di depan dan belakang adalah hal biasa.

Dalam setiap pendakian, saya selalu saja memikul beban ganda membawakan ransel Shahibah, selain membawa milik sendiri. Tentu dua ransel itu sebetulnya untuk keperluan kami berdua juga. Jadi, di dunia pendaki, suami siaga itu adalah suami yang siap menjadi porter untuk istrinya. 😝

Tapi saat mendaki Ciremai saya terpaksa menyerah di Tanjakan Asoy, membawa beban dua ransel yang saya gendong dari basecamp. Saya terpaksa mengoper satu ransel milik Shahibah untuk dibawa Ahmad, rekan kami. Untungnya Ahmad mau membawakan. Padahal dia adalah pendaki yang terbilang presisi untuk urusan bawaan.

Dari dialah kemudian kami mendapat ilmu mengenai ultralight backpacking, yaitu cara membawa perlengkapan camping seringan dan seringkas mungkin. Seperti saat mendaki Ciremai, dia hanya membawa tas daypack 40 liter, berisi perlengkapan untuk menginap semalam.

Ini di perjalanan pulang, barang bawaan udah lumayan lebih enteng.

Setelah menyadari beban yang dibawa saat camping tak seharusnya berat-berat amat, di pendakian Gunung Prau, beban ganda itu tak terjadi lagi. Namun, saya masih membawa carrier 65 liter untuk keperluan kami berdua, termasuk tenda dan matras.

Kini setelah kejadian di Tanjakan Asoy tak mau lagi saya memikul beban ganda. Saya makin sadar mengenai pentingnya prinsip ultralight backpacking dan kapok bawa beban ganda. Lebih baik, bawa barang seperlunya aja yang memang diperlukan. Cara mengepak baju dan perlengkapan pun seringkas mungkin.

Kalo bisa ringkas dan enteng, ngapain naik gunung bawa beban berat-berat?