Melipir ke Sabang, Main Bareng Ikan di Pulau Rubiah

Senin, April 30, 2018 Add Comment
Dari Sabang sampai ke hatimu...

SUNGGUH tak menyangka, kami bisa berkunjung ke Sabang. Tanpa rencana sama sekali. Hanya memanfaatkan waktu kosong semalam, menunggu jadwal penerbangan keesokan hari. Setelah mengunjungi Kota Sabang dan berkeliling Pulau Weh selama hampir 24 jam, hasilnya sungguh kurang. Kami bertekad, dan sangat berkeinginan kembali ke sana. Suatu saat.

Jadi ceritanya, kami berkunjung ke Banda Aceh untuk dua maksud. Pertama, untuk menghadiri resepsi pernihakan sepupu. Dan kedua, mengantar adik bungsu Shahibah pindahan sekolah.

Di sela agenda-agenda itu, kami menyempatkan menemui beberapa teman lama sewaktu kuliah. Salah satunya adalah Ustadz Ali Arsyad Isu, kawan saya asal Dili, Timor Leste, yang kini bermukim di Banda Aceh.

Saat berkunjung ke rumah Ali, entah darimana obrolan mengalir ke urusan jalan-jalan. Ali tahu saya dan Shahibah adalah pasangan penyuka traveling. Di sela bernostalgia kehidupan masa lalu, Ali menyarankan kami untuk mengunjungi Pulau Weh, Sabang.

"Mumpung lagi di Aceh, coba main ke Pulau Weh," ujar Ali.

"Wah ide bagus tuh," ujar saya.

"Tapi jadwal pesawat balik kami besok sore," ujar Shahibah.

Dilema itu pun terpecahkan setelah Ali memberi rekomendasi seseorang yang akan memandu dan mengantar-jemput kami selama di Sabang. Ohya, biar jelas Sabang itu nama kota pusat pemerintahan yang terletak di Pulau Weh. Selain Pulau Weh, ada beberapa pulau lainnya, seperti Pulau Rubiah yang juga masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kota Sabang.

Kami cek jadwal kapal menuju Sabang, setiap hari hanya ada dua penyeberangan. Untuk sore itu masih bisa kami jangkau.

Siang itu pun kami segera meluncur ke Pelabuhan Ulee Lheue dengan taksi online. Kami hanya bawa baju seperlunya untuk dibawa ke Sabang. Sebagian besar isi koper, kami tinggal di hotel yang kami inapi di Ulee Kareeng.

Usai membeli tiket di pelabuhan, ternyata kapal datang sedikit terlambat dari yang dijadwalkan. Kami masih sempat foto-foto di dermaga pelabuhan kecil itu.

Perjalanan ke Sabang menempuh waktu sekira dua jam. Di atas kapal ada hiburan televisi dan tukang asongan tak henti menawarkan jajanan dari kacang rebus hingga nasi bungkus. Naik kapal dijamin tak akan bete dan kelaparan. Shahibah memilih tidur, sementara saya naik ke geladak merasakan hembusan angin laut.

Kami tiba di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh sekira pukul 16.00. Pemandu kami, Bang Ade Abdullah, sudah menunggu di bibir pelabuhan. Dia mengenakan jersey Real Madrid, yang sangat cocok dengan perawakannya tinggi, berotot dan perut rata.

Tepat seperti dugaan saya, Bang Ade itu adalah seorang atlet sepak bola.

"Dulu Abang pernah main di Persiraja, tapi sekarang Abang cukup jadi wasit saja," ujar dia.

Di sela waktunya sebagai wasit profesional di Liga 2 itulah, Bang Ade menjadi pemandu wisata. Ade punya dua mobil yang dia gunakan untuk mengantar jemput turis. Tingginya minat turis ke Sabang, membuat bisnis rental mobilnya cukup maju.

"Sore ini mau ke mana dulu Irvan?"

"Terserah Abang, atur aja. Kami punya waktu sampai besok siang."

Mobil Avanza diarahkan Ade keluar pelabuhan dan lagsung menuju ujung Pulau Weh, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia atau titik paling barat negara ini. Titik itulah yang menjadi penanda bagi lirik lagu "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau..."

Berjejer pulau-pulau di Sabang. Selain Pulau Weh yang paling besar, ada empat pulau lainnya.
Mobil Bang Ade berhenti di sebuah persimpangan, pemandangan sore di sana sungguh keren. Bang Ade memotret kami berdua. Perjalanan berlanjut, mobil berhenti lagi di taman Kota Sabang. Kami pun berfoto lagi di landmark tulisan "I Love Sabang".

Kami tiba di titik Nol Kilometer sekira jam 17.30. Jika di Jawa jam segitu mungkin langit sudah mulai gelap dan masuk maghrib, tapi di Sabang langit masih terlihat terang.

Kami punya cukup waktu untuk menunggu sunset di ujung paling barat Indonesia sambil main di hutan dan berfoto di tugu Nol Kilometer.

Pemandangan sunset sore itu tidak terlalu baik karena mendung, namun kami bersyukur bisa menyaksikan matahari terbenam di ufuk paling barat Indonesia.

Alhamdulillah bisa lihat pemandangan sunset di ufuk paling barat Indonesia, Tugu Kilometer Nol Sabang.

Sunset usai. Langit mulai menggelap. Perjalanan kami berlanjut menuju Iboih, sebuah perkampungan pinggir pantai. Menurut Bang Ade, di sana ada temannya yang memiliki penginapan dengan harga murah.

Iboih adalah sebuah desa berbukit-bukit yang langsung berhadapan dengan pantai. Di sana banyak sekali resort dan penginapan yang dikelola masyarakat. Belum ada hotel berbintang di sini.

Sebelum masuk ke penginapan, resepsionis menanyakan buku nikah kami.

"Maaf buku nikah ngga kami bawa, tapi bisa cek KTP kami. Alamat rumah kami sama, yang artinya kami tinggal serumah," ujar saya.

Maaf saya pun dibalas maaf oleh penerima tamu.

"Iya kak. Kami percaya kakak suami-sistri. Maaf juga kak, bukan kami curiga. Tapi lebih baik kami tidak dapat tamu yang berzinah daripada kami nanggung dosa."

Sungguh bijak. Seandainya semua pebisnis hotel di Indonesia berpikir seperti itu.

Kami makan malam di sebuah warung, lalu tidur nyenyak di kamar tanpa AC dengan tarif Rp150 ribu. Sementara Bang Ade pulang ke rumahnya.

***

Lepas solat Subuh, saya menyempatkan lari pagi mengelilingi Iboih. Jalannya menanjak ke bukit hingga melewati sebuah makam keramat. Di Sabang, memang banyak makam yang dikeramatkan dan sering diziarahi kalangan Muslim tradisionalis.

Pagi itu, Bang Ade sudah stand by di depan penginapan kami. Dia mengurus agenda kami berikutnya, yaitu snorkling di Pulau Rubiah.

Saat hendak pergi ke tempat penyewaan alat-alat snorkling saya sempat meminjam motor resepsionis penginapan. "Itu motornya bang. Kuncinya ada di motor," ujar dia. "Nanti kuncinya jangan dicabut ya bang."

Perkataannya yang terakhir itulah yang sempat membuat heran.

Ketika sampai di tempat penyewaan alat snorkling, terjawablah keheranan saya. Di parkiran, semua konci motor dibiarkan terpasang begitu saja tanpa dicopot. Ternyata di Pulau Weh, semua pemilik motor memarkir kendaraannya tanpa pernah melepas kunci. Luar biasa, mereka tak khawatir motornya bakal hilang dicuri. Mereka sungguh yakin daerahnya adalah tempat yang aman, bebas dari kejahatan.

Sementara kami pergi snorkling di Pulau Rubiah, Bang Ade menunggu di penginapan.

Kami berdua di Pantai Iboih, pagi sebelum nyebur snorkling.


Jarak antara Pantai Iboih ke Pulau Rubiah sebetulnya tak jauh. Mungkin tak lebih dari 1km. Kalo Anda ahli, berenang pun bisa tak perlu menyewa perahu. Pasalnya sewa perahu cukup mahal. Untuk sewa selama dua jam sekira Rp200 ribu. Jadi, Anda tinggal sewa alat snorkling dan fins saja.

Air laut di selat antara Iboih dan Rubiah pun sungguh jernih. Dari atas perahu, saya bisa melihat ikan warna-warni berlarian.

Snorkling nyari Spongebob di pantai Pulau Rubiah.


Pulau Rubiah bisa dibilang surganya snorkling. Belum pernah sebelumnya saya berenang diikuti ikan dengan warna-warna yang cantik sebanyak itu. Ya iyyalah, pengalaman snorklingnya juga cuma di Kepulauan Seribu sama di Tanjung Bira, Sulawesi Selatan aja.

***

Terlalu asyik snorkling, jadwal yang sudah diatur Bang Ade jadi molor. Seharunya kami sudah beres jam 10, supaya masih sempat melawat ke beberapa destinasi menarik lainnya di Sabang. Jam 11 kami baru selesai mandi dan sarapan. Bang Ade agak panik karena sudah kadung janji mengajak kami melihat beberapa tempat lagi.

Avanza yang dikemudikan Bang Ade melaju kencang meninggalkan Iboih. Tujuan kami selanjutnya adalah Goa Sarang.

Jalanan penuh kelok dan menanjak dilahap kemudi Bang Ade. Dari pembawaannya, dia sangat  hafal medan. Mirip pembalap rally yang tak memerlukan navigator. Saya yang duduk di depan, hanya tercengang menyaksikan Bang Ade menyopir.

Jantung saya yang tadi sempat deg-degan, bisa sedikit rileks setelah kami tiba di Goa Sarang.

Bang Ade mengajak kami ke naik menara dan naik ayunan untuk diambil foto. Dia langsung mengaturkan gaya kami. Untuk bisa foto-foto di spot Goa Sarang itu, turis dipungut bayaran Rp5 ribu. Cukup murah jika dibanding hasil foto dengan background pemandangan pantai berair kebiuran dan barisan bukit Goa Sarang dengan pohon yang lebat.
Main ayunan di Goa Sarang, Sabang.

Tak banyak waktu kami habiskan di Goa Sarang. Ke bibir goanya saja kami tak sempat. Harusnya kalo mau puas, alokasikan waktu sehari di tempat ini. Sementara Bang Ade sudah memberi aba-aba lagi. Dia masih punya tempat untuk ditunjukkan kepada kami.

Tempat berikutnya itu cukup indah. Sebuah pantai berpasir putih. Tapi tidak terkelola dengan baik, jadinya tidak terlalu mengesankan buat kami. Saya saja sampai lupa nama pantainya.

***

Muhibah kami di Sabang berakhir dengan cuaca hujan. Tapi sebelum hujan, kami masih sempat ambil foto di taman Pulau Weh dan membeli kue pia Sabang yang sangat mirip dengan bakpia pathok Jogja.

Kami berpisah dengan Bang Ade di gerbang Pelabuhan Balohan. Ada rasa haru yang saya rasakan saat kami hendak berpisah. Perjalanan bersama Bang Ade selama hampir 24 jam sungguh mengesankan. Kami sungguh beruntung mendapat pemandu baik seperti dia. Orangnya supel dan hangat, seperti teman yang sudah kenal lama.

Bang Ade, Shahibah, dan saya. Kami seperti teman lama, padahal baru kenal.
Kami membayar Rp500 ribu untuk rental mobil selama 24 jam. Harga yang terbilang murah, untuk layanan prima yang diberikan Bang Ade, dari sejak menjemput hingga mengantar pulang.

Saat kami sudah membeli tiket, Bang Ade menelpon saya. Dia bilang ada barang saya yang tertinggal. Saya kaget, dan mencari-cari barang apa yang tertinggal.

Ternyata, itu adalah kejutan. Bang Ade menelpon seperti itu, hanya untuk memberikan sebuah bungkusan oleh-oleh untuk kami. Dia membelinya dari menyisihkan uang rental ang kami bayarkan.

"Sudah murah, masih juga diberi bonus oleh-oleh. Terima kasih Bang Ade," ujar saya tak enak hati. Setelah itu kami pun berpisah.

Bagi Anda yang ingin ke Sabang dan butuh guide, bisa kontak Bang Ade Abdullah. Untuk urusan rental mobil dan guide berkeliling Sabang, Bang Ade bisa dihubungi di +62 852 6039 2929.