Main2 ke Houtong, "Mekkah"-nya Pecinta Kucing di Taiwan

Minggu, Agustus 21, 2016 Add Comment
Seorang cewek lagi elus-elus kucing di jalanan kampung Desa Houtong, Taiwan.
HAMPIR saja saya putus asa. Saya punya waktu lima hari di Taiwan, tapi hingga hari keempat belum sedikit pun saya bisa melipir buat jalan-jalan. Waktu saya habis di acara Taipei Plast 2016, selama empat hari saya terkurung di peliputan pameran mesin plastik itu. Panitia memberi jadwal ketat, dari pagi hingga malam. Setiap hari dibuka sarapan bersama di hotel, pergi ke venue pameran, lalu malamnya ditutup pesta makan dan minum.

Acara-acara pesta itu sebetulnya tidak wajib diikuti. Tapi, sayang untuk dilewatkan. Karena saat party kita bisa membangun networking dengan para pengusaha Taiwan. Namun dalam budaya pesta yang berbeda, saya harus selalu hati-hati. Kebanyakan pengusaha dan pekerja Taiwan suka minum alkohol usai jam kerja. Kebiasaan itu seperti tertular dari budaya Jepang. Saya terpaksa selalu menolak, saat ditawari minuman dan makanan non-halal.

Pada hari kelima, setelah pameran ditutup pada jam makan siang, barulah panitia memberi keleluasaan untuk kami. Kami diberi setengah hari untuk vakansi, sementara besok pagi saya sudah harus balik ke Jakarta. Saya girang seperti anak sekolah gurunya tak masuk kelas. Hehehe...😁

Saya pamitan ke teman-teman jurnalis dari beberapa negara yang selama lima hari ini selalu bersama meliput. Takutnya tidak ketemu lagi.

Tujuan saya siang itu adalah ke Houtong, sebuah desa yang memiliki julukan "Cat Village" alias desa kucing. Saya baru tahu ada desa kucing bernama Houtong dari booklet di hotel. Dari situlah saya ulik rute menuju ke Houtong mengandalkan Google Map. Berjaga-jaga takut tak dapat sinyal, semua rute sudah saya screenshoot di HP.

Saya juga sudah menukar voucher makan siang dari panitia pameran di kedai burger untuk bekal jalan-jalan. Dalam pikir saya, di tempat wisata pasti makanan mahal. Lebih irit jika saya manfaatkan voucher. Teteeuup... irit.

Dari segi jarak dan tempat Houtong itu agak mirip Citayem. Houtong juga mirip Citayem karena nama desa yang juga jadi nama stasiun. Bedanya dengan Citayem, Stasiun Houtong itu betul-betul ada didesa. Jauh dari pasar.

Jadi enaknya memang naik kereta untuk menuju ke sana, meski bisa saja naik bus, taksi, atau Uber. Naik kereta aja udah nyaman, ngapain naik taksi harus bayar mahal banget?

Waktu itu hari Senin, hari kerja. Saya pun bepergian masih dengan kemeja dan celana kerja karena diwajibkan selama meliput pameran. Saya hanya membawa sepatu kets buat salin. Kereta menuju Houtong cukup lengang, karena masih tengah hari. Tak terbayangkan, jika panitia memberi waktu bebas sore. Pasti kereta sudah penuh oleh orang pulang kerja. Betul saja, saat saya kembali ke Taipei saya melihat penumpang kereta begitu padat.

Tiba di Houtong saya terkesima. Houtong begitu ramai oleh pengunjung. Hari Senin serasa Minggu. Kebanyakan sih turis domestik, mereka sepertinya penyuka kucing semuanya, ingin menghabiskan waktu bersama kucing-kucing di Houtong.Selain itu mungkin ingin menghabiskan waktu di kawasan pedesaan. Tak jauh dari Stasiun ada aliran sungai dengan kontur perkampungan berbukit dan sejuk.

Desa Kucing Houtong, bisa dibilang seperti "Mekkah"-nya pecinta kucing. Orang dari seluruh dunia ke sini cuma datang untuk main sama kucing. Hehehe... 

Stasiun Houtong penuh dengan pernak-pernik kucing. Grafiti, tulisan rambu, bangku, dan fasilitas stasiun lainnya bercorak kucing semua.

Karena ini desa kucing, Stasiun Houtong memiliki jembatan penyeberangan khusus kucing agar mereka terhindar dari kecelakaan di rel kereta. Di jembatan penyeberangan itu, terdapat sarang dan tempat cakaran.

Siang itu, saya lihat kucing-kucing cukup nyaman tiduran di sana. Saya terus mengeksplorasi seisi stasiun hingga ke beberapa bagian desa ini. Tak jauh dari stasiun ada bangunan bekas pabrik pengolahan batu bara. Memang, Houtong ini dulunya adalah lokasi tambang yang telah habis dieksploitasi pada 1990. Sejak batu bara tak ada, penduduk desa ini banyak yang urbanisasi. Mirip Kecamatan Cikotok sebuah lokasi tambang emas di Banten, yang sekarang sudah ditutup.

Namun, sejak 2008, barulah Houtong menjadi desa kucing. Berawal dari keprihatinan sebuah komunitas pecinta kucing di Taipei yang berusaha mengendalikan populasi kucing terlantar yang berlebih di kota. Kucing-kucing terlantar itu ditangkap, disteril atau kebiri, dan dikumpulkan di Houtong. Sejak itu, populasi kucing jadi lebih banyak daripada jumlah manusia penduduk desa. Seorang fotografer memviralkan desa kucing ini, hingga terkenal sebagai tempat wisata seperti sekarang.

Kesadaran akan kesejahteraan hewan sudah sangat baik di masyarakat Taiwan, jadi ketika ada inisiatif membuat desa kucing, mereka menyambutnya. Banyak orang yang suka dengan tempat ini. Mereka datang ke Houtong hanya untuk bermain-main dan memberi makan kucing liar di sana yang cukup jinak. Jangan takut bersentuhan dengan kucing di Houtong, karena mereka rutin divaksin oleh komunitas pecinta kucing di sana. Selain itu, hampir semua daun kuping kucing di sini telah digunting separuh, sebagai tanda mereka telah steril dan tidak akan lagi bisa berkembang biak.

Turun dari jembatan penyeberangan stasiun, terdapat barisan toko souvenir yang menjual segala hal berbau kucing. Dari kartu pos, gantungan kunci, mug, hingga lukisan kucing.
"Bang lagi ngapain di situ bang?" kata gambar anak-anak kucing itu. "Pose ala traveller dong.." kata saya di dekat pintu masuk Stasiun Houtong.
Cafe-cafe kucing juga banyak dikelola penduduk Houtong. Di sana Anda bisa makan dan minum ditemani kucing-kucing yang jinak. Bedanya, kucing-kucing di dalam cafe ini lebih bersih daripada kucing yang keliaran di jalanan.

Di Jakarta dan Bandung sebetulnya sudah ada cafe kucing, tapi saya belum pernah mencicipi seperti apa nikmatnya makan dikelilingi kucing di cafe. Kalo di rumah sih sering banget. Tapi saya sangat jarang memberikan makanan ke Audrey, kucing betina kami, saat kami sedang makan di meja. Dia kami biasakan hanya makan makanan khusus kucing.  Lagian kalo di Jakarta, mau makan sama kucing tinggal datang aja ke warung pecel lele. Hampir dipastikan selalu ada kucing menunggui tulang sisa makanan kita.

Banyak hal saya pelajari dari mengunjungi Houtong. Terutama mengenai bagaimana gotong royong komunitas pecinta kucing mewujudkan sebuah desa untuk jadi sanctuary kucing terlantar di perkotaan. Kucing-kucing terlantar itu disteril, dipindah ke lingkungan yang lebih baik, agar mereka tidak hidup terlunta-lunta.

Prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare benar-benar ditegakkan di Houtong.

Audrey, kucing kami di rumah senang banget dapat oleh-oleh kartu pos dari Houtong gambar Kucing Pemimpin Mio yang menduplikasi pose Pemimpin Mao.