Perubahan Purwakarta, Mau ke Mana?

Rabu, Mei 20, 2015 Add Comment


BANYAK yang berubah di Purwakarta. Perubahan itu semuanya sangat mencolok. Dan yang paling mencolok adalah festival setiap malam Minggu.

Di Situ Buleud, yang tak jauh dari Kantor Bupati Purwakarta, pusat kemeriahan festival malam minggu itu. Di sana ada air mancur warna-warni menari. Suasana taman sekitar situ yang gelap membuat pancuran itu terlihat sangat indah dan menawan. Sayang saya tak bisa memotretnya karena saat ke sana akhir pekan lalu, batere HP saya sudah habis.

Yang saya baca di buku sejarah saat sekolah, Situ Buleud adalah situ berbentuk lingkaran yang dibangun oleh Bupati Karawang, saat Kota Purwakarta masih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang di era kolonial Hindia Belanda. Karena itu selain bangunan kantor bupati, di sekitar situ banyak sekali bangunan tua legendaris seperti Stasiun Purwakarta, Masjid Agung, dan penjara.

Rasanya ingin sekali mengunjungi bangunan-bangunan legendaris itu sambil mengenang masa sekolah. Karena meski saya bersekolah di Cikampek, untuk banyak aktivitas seperti bimbel, kursus, dan bahkan bolos sekolah saya sering ke Purwakarta. Tapi Purwakarta di malam Minggu akhir pekan lalu, sungguh berbeda.



Selain festival budaya yang rutin digelar, ada juga festival wisata kuliner. Kendaraan sulit bergerak. Saya dan istri yang menunggangi motor pun harus banyak mencari celah melalui jalan tikus.

Perubahan Purwakarta yang luar biasa dalam beberapa tahun belakangan adalah buah karya sang bupati, Dedi Mulyadi. Saya harus memuji kinerja bupati muda ini. Terlebih di bidang kebudayaan. Dia sepertinya ingin merestorasi kebudayaan Sunda, sehingga ke mana-mana pun selalu setia dengan ciri khas kain iket, baju kampret putih, dan celana pangsi.

Selain itu, Dedi juga memugar semua gapura di perkantoran pemerintahan menjadi gapura khas Purwakarta. (Untuk soal itu, menurut saya, dia seperti terobsesi menjadikan Purwakarta seperti Bali). Plang kantor pemerintahan dan sekolah pun mendapat pembenahan dengan tambahan tulisan aksara sunda.

Bukan hanya itu, di setiap perempatan, Kang Dedi juga membangun monumen dan patung ciri khas Purwakarta. Misalnya monumen penjual sate maranggi di Cibungur, monumen tembikar khas Pendul di Sadang, dan yang menarik beberapa patung tokoh pejuang di Taman Pembaharuan.

Kinerja Kang Dedi memang luar biasa, tapi bukan tanpa cela. Saat saya berwisata ke Curug Cipurut, Wanayasa, saya sangat terganggu dengan jalanan yang buruk. Jalan berlubang harus kami lalui dari sejak menanjak dari Pasar Rebo, Pasawahan, hingga ke Kota Wanayasa.

Padahal, Desa Pasawahan itu paling hanya selemparan batu dari Kantor Pemkab Purwakarta. Dan yang paling saya sayangkan, pengelolaan sumber daya alam di Purwakarta juga belum terkendali dengan baik.

Misalnya tahun lalu saya masih melihat tambang ilegal galian C beroperasi menambang pasir dan tanah di Sungai Cilampahan, Ciganea. Miris rasanya melihat tambang yang tak jauh dari rumah nenek saya itu. Dulu saat saya kecil, Ciganea rasanya sungguh indah dan teduh.

Tapi sekarang, orang-orang kampung di sana seperti sudah kehilangan harapan hanya bisa pasrah melihat lahan di sekitar mereka dieksploitasi.

Saya yakin Kang Dedi tahu semua permasalahan itu. Meski saat ini beliau sedang gencar keliling melakukan "sosialisasi" bersama beberapa musisi dan pelawak dalam "Dangiang Galuh Pakuan" ke banyak desa dan sekolah.

Saya tahu itu penting untuk memantapkan langkah Kang H. Dedi Mulyadi, SH menuju kursi Gubernur Jawa Barat. Dengan begitu saya juga senang jika dari Jawa Barat banyak muncul figur pemimpin muda alternatif seperti Kang Dedi, Kang Ridwan Kamil, atau Kang Bima Arya.

Saya hanya orang jauh yang mengamati kiprah Kang Dedi. Tapi sebagai orang yang pernah minum es kelapa dan makan sate maranggi, saya hanya ingin titip pesan kepada Kang Dedi agar jangan lupa rumah sendiri.

Ke Cipurut, Mencari yang Bersembunyi di Tempat Terang

Senin, Mei 18, 2015 Add Comment
Curug Cipurut PurwakartaCURUG Cipurut adalah salah satu air terjun yang yang terletak di area hutan lindung Gunung Burangrang, kawasan Bandung Barat.

Hanya saja, untuk menuju Cipurut kita bisa melalui Desa Sumurugul, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta. Desa Sumurugul sendiri adalah sebuah desa wisata.

Penduduk desa ini, sangat sadar tempat tinggal mereka sering dikunjungi turis. Karena itu, kebersihan desa ini pun sangat terjaga.

Di beberapa sudut jalan setapak menuju curug, saya jumpai peringatan dan kutukan dalam Bahasa Sunda agar pengunjung tidak membuang sampah.


Saat sekolah dulu, Cipurut ini tempat pelarian sekaligus pelatihan saya. Saat bosan dengan pelajaran yang memusingkan, saya dan beberapa teman sering berkunjung ke curug ini. Bermotor dari Cikampek, kemudian setelah sampai di sana kami yang semuanya cowok hanya menghabiskan waktu dengan mandi air dingin dan belajar menghisap tembakau.

Yang penting, kami pulang saat sore seperti anak lainnya pulang sekolah agar tidak ketahuan bolos. Hehehe. Tapi di lain waktu, saya juga pernah berkemah untuk tadabur alam bersama anak-anak aktivis islami di sekolah kami.

Curug ini menjadi arena untuk mendoktrin anggota baru. Akhir pekan kemarin, saya kembali mengunjungi curug ini bersama Shahibah. Belasan tahun tak ke sana, rupanya tak banyak yang berubah. Hanya letak bangunan musholla dari kayu, telah berpindah dari kaki curug ke tempat agak ke bawah.

Curug Cipurut Purwakarta
Sejoli memadu kasih mesra di Curug Cipurut. Hehehe :)
Saat kami kunjung, cuaca sedang bersahabat. Hanya saja, jalan tanah setapak yang kami lalui agak basah dan licin, setelah paginya diguyur gerimis. Oya, jalan setapak itu, tidak bisa dilalui motor. Jadi kita harus berjalan kaki sejauh 500 meter dengan kontur menanjak moderat.

Namun, kelelahan menanjak itu terobati dengan pemandangan sepanjang perjalanan. Sejauh mata memandang, Kami di disuguhi hamparan kebun teh, undakan terasering sawah, dan barisan pohon pinus.

Selain itu, suara serangga pohon (tonggeret dalam Bahasa Sunda) pun menjadi musik pengiring perjalanan kami. Sore itu, meski sedang musim liburan long weekend, Cipurut tak banyak dikunjungi wisatawan.

Jadi kami bisa puas berfoto berdua di sana. Sebelum pulang saya sempat berbincang dengan Pak Aceng, seorang pedagang kopi dan mie instan.

Perbincangan itu, mengungkap fakta yang baru saya tahu. Ternyata, di kaki curug ada sebuah mata air obat. Jika diyakini, kata Pak Aceng, bisa mengobati penyakit apa saja. Kebetulan saya dan istri sudah meminum air dari mata air itu saat berada di curug.

Jalan setapak menuju Curug Cipurut yang indah.
Selain itu, di sekitar curug ada sebuah makam wali. Menurut Pak Aceng, di malam-malam tertentu banyak orang berziarah untuk ngalap berkah dan karomah.

"Memang jarang yang tahu, curug ini memang ramai dikunjungi wisatawan. Biasanya, makam aulia itu selalu tersembunyi di tempat yang terang," ujar Pak Aceng.

Saya menggarisbawahi kata 'bersembunyi di tempat yan terang' itu. Wow,, sungguh dalam sekali maknanya. Pak Aceng, mengajak saya untuk mampir lagi lain kali.

Karena menurut dia, ada satu curug lagi di dekat Cipurut yang bisa dieksplorasi. "Curugnya lebih tinggi dan lebih indah. Kalo mau ke sana harus dipandu. Soalnya medannya lebih berat," kata Pak Aceng. Perkataan Pak Aceng itu pun membuat kami jadi penasaran. Jika ada waktu libur lagi, kami telah bertekad kembali untuk mengunjungi Curug Cipurut lagi.