Baduy Cilik Ikut Seba ke Kota Serang

Selasa, April 28, 2015 Add Comment
PADA pelaksanaan Seba Baduy, akhir pekan lalu, tidak hanya pria Baduy dewasa saja yang ikut serta. Saya lihat anak-anak Baduy pun banyak yang diajak bapaknya untuk mengunjungi Kota Serang.

Sayangnya, beberapa kali saya mengajak ngobrol untuk bertanya banyak hal kepada anak-anak itu sering kali mereka malu untuk menjawab.

Pertanyaan saya dijawab bapaknya atau kakaknya. Misalnya pertanyaan apakah mereka sekolah atau tidak. Wajar mereka agak tertutup, pasalnya beberapa anak mengakui peristiwa Seba kemarin adalah pengalaman pertama mereka pergi ke kota.

Bisa saja itu pengalaman pertama mereka pergi ke kota. Tapi setidaknya, mereka sudah sering melihat kota melalui televisi yang secara terbatas. Dan mereka seakan tidak mengalami gegar kebudayaan sama sekali. Mereka tetap kukuh terlihat sebagai anak Baduy.

Yang saya saluti adalah sikap anak-anak itu terhadap kebersihan. Saya lihat tak ada satu pun dari mereka yang membuang sampah sembarangan. Jika anak-anaknya begitu, pria Baduy dewasanya apalagi. Sepanjang pelaksanaan Seba, kebersihan Kota Serang, Banten tetap terjaga.

Padahal ada sekitar 1800 orang Baduy berjalan long march di sekujur jalanan kota. Selama berjalan juga, mereka diam. Tak ada yang berbincang atau ngobrol sambil ngerumpi cekikikan dengan temannya. Jadi, apakah kita masih merasa sebagai orang paling beradab?

Seba Baduy di Serang Banten

Senin, April 27, 2015 Add Comment
Melihat 1800 pria Baduy berjalan di sekujur jalanan Kota Serang, Sabtu siang, rasanya sungguh merinding. Bayangkan, mereka semua berjalan telanjang kaki tanpa sandal atau sepatu. Tentu saja, itulah yang menurut saya Seba Baduy seakan lebih hebat dari Historical Walk Konferensi Asia Afrika di Bandung, kemarin.

Seba adalah peristiwa tahunan, saat orang Suku Baduy akan menemui Gubernur Banten untuk berbicara antara rakyat dan pemimpin. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak Banten masih berupa Kesultanan.

Karena itu juga, Seba Baduy jadi seakan lebih hebat dari demonstrasi buruh dan mahasiswa. Jika buruh dan mahasiswa demo ke DPR, orang Baduy ini sepertinya malah tak butuh DPR sama sekali. Jika mereka perlu sesuatu, mereka akan langsung menemui pimpinan daerah. Misalnya saja, saat Seba Baduy tahun lalu mereka pernah minta agama Sunda Wiwitan masuk dalam kolom KTP.

Rakyat Beri Upeti untuk Pejabat

Minggu, April 26, 2015 Add Comment
PADA pelaksanaan Seba Baduy, orang-orang Suku Baduy (luar dan dalam) berbondong ke Pendopo Gubernur Banten untuk menyerahkan upeti. Betapa repotnya mereka membawa hasil bumi seperti bertandan-tandan pisang, berkarung-karung beras dari huma, gula aren, dan madu.

Semua itu mereka berikan untuk para 'penggede'. Ingat lho, banyak dari mereka yang berbondong-bondong jalan telanjang kaki. Tapi setelah upeti itu diberikan, mereka tak menuntut banyak hal dari para penggede itu.

Mereka tak menuntut dibangunkan fasilitas kesehatan lengkap, sekolah, atau infrastruktur yang nilainya triliunan. Orang Baduy hanya meminta mereka dijamin hidup aman di kampungnya, di Kanekes, Banten. Itu saja.

"Kok masih feodal sih, bayar-bayar upeti?" mungkin begitu celoteh kita yang merasa lebih beradab. Padahal mah di kota juga tradisi beri memberi upeti ini masih sering berlangsung.

Kalo ngga, saya yakin lembaga yang namanya KPK ngga akan pernah ada. Saya sendiri, melihat prosesi orang Baduy memberikan upeti itu rasanya, asa kumahaaa kitu.

Kita yang tinggal di kota, juga selalu menjadikan pajak sebagai pembenaran segalanya. Kita adalah kelas menengah ngehe yang setelah membayar pajak, merasa bisa menuntut apa saja dari negara.

Tanpa kita sendiri bersikap menuntut kepada diri sendiri. "Gue kan udah bayar pajak.." jadinya kita pakai mobil pribadi setiap hari sambil misuh-misuh karena kena macet. "Gimana sih ini macet?! Polisi di mana sih?"

Hampir setiap hari makian seperti itu terbaca oleh saya di time line media sosial. Padahal yang menyebabkan macet ya orang yang memaki itu sendiri.